Utang Rp 4,6 Triliun Sirkuit Mandalika, Ekonom Jelaskan Efek Bagi Negara Jika Opsi PMN Diambil
Ekonom menilai utang pembangunan Sirkuit Mandalika bisa merugikan negara dua kali, jika ekuitas berubah negatif.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Utang Rp 4,6 Triliun Sirkuit Mandalika, Ekonom Jelaskan Efek Bagi Negara Jika Opsi PMN Diambil: Negara Merugi 2 Kali Jika Tak Mampu Bayar
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan Sirkuit Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang sempat menggelar balap World Superbike (WSBK) dan MotoGP, menjadi sorotan publik lantaran meninggalkan utang sebesar Rp 4,6 triliun.
Hal ini diungkap oleh Direktur Utama holding utama BUMN InJourney melalui PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC) Dony Oskaria, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (14/6/2023) kemarin.
Dalam RDP tersebut, Dony menyebut InJourney kesulitan membayar utang yang terbagi dua terma pembayaran yakni utang jangka pendek (short term) senilai Rp 1,2 triliun dan utang jangka panjang (long term) Rp 3,4 triliun.
Baca juga: WSBK akan Dihapus dari Sirkuit Mandalika, Nasib MotoGP Tak Sepenuhnya Aman
Satu-satunya cara menyelesaikan utang jangka pendek kata Dony, adalah lewat Penyertaan Modal Negara (PMN) ke pemerintah sebesar Rp1,05 triliun untuk ITDC.
Menanggapi hal ini, pengamat ekonomi Yanuar Rizky menilai kasus utang pembangunan Sirkuit Mandalika bisa merugikan negara dua kali, yakni dari sisi ekuitas atau modal investasi negara yang tidak terbayarkan, dan pemberian PMN kembali, jika ekuitas berubah negatif.
"Kalau ekuitas jadi negatif, nggak bisa bayar utang, ya negara (dirugikan) karena APBN tergerus modalnya dan mesti kasih PMN lagi," kata Yanuar kepada wartawan, Jumat (16/6/2023).
Yanuar menjelaskan ketika melakukan perencanaan pembangunan, termasuk pada Sirkuit Mandalika menggunakan utang, maka harus memenuhi dua syarat.
Yakni project bankable atau proyek yang memenuhi persyaratan dari pemberi modal, dan DER alias debt to equity ratio atau rasio utang terhadap modal yang ditopang modal investasi positif.
Guna memenuhi persyaratan tersebut, maka diharuskan ada studi kelayakan, dan hitung-hitungan anggaran proyek, serta proyeksi keuntungan.
Eks-Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia ini menerangkan, utang dalam sebuah proyek pembangunan BUMD jadi hal biasa sepanjang studi kelayakan pemerintah dan pelaksanaan proyeknya baik.
Namun menjadi tidak biasa kata dia, jika tak bisa membayar utang dan justru menyebabkan debt to equity ratio yang ditopang ekuitas negatif.
Baca juga: Proyek Sirkuit Mandalika Pikul Utang Triliunan Rupiah, Erick Thohir: MotoGP Coba Dipertahankan
"Jadi, apa yang salah dalam pelaksanaan, apakah karena asumsi revenue di feasibility study meleset? dan atau nilai proyeknya membengkak?" kata Yanuar.
Jika nilai proyek membengkak, lanjut Yanuar, perlu dipastikan lebih dulu tak terjadinya penggelembungan anggaran saat pelaksanaan proyek dan menyebabkan ekuitas negatif.
"Kalau terjadi cost over run, ya harus dipastikan dulu tidak terjadi mark up pas pelaksanaan, kalau memang ada mark up dan kemudian menyebabkan ekuitas negatif kan jadi kerugian negara, karena modal negara digerus rugi secara kumulatif," kata dia. (*/)