Nurhidayat Haji Haris: Geluti Profesi Pemain Sepakbola Sejak Juara Danone 2010
Nurhidayat Haji Haris adalah satu di antara pemain muda berkualitas yang dimiliki Indonesia.
Penulis: Abdul Majid
Editor: Toni Bramantoro
Terus Papah saya ada kerjaan di Sulawesi Tenggara, Toli-Toli. Yaudah kita satu keluarga ikut ke sana. Sudah itu sampai saya kelas empat SD saya tidak betah, saya nangis minta balik ke Makassar, mau sekolah sepakbola.
Terus saya balik sama mamah, saya daftar SSB di Makassar. Terus saya masuk SSB Hasanudin, itu yang ngelatih bapaknya Asnawi. Saya ikut Liga di sana.
Mulai yakin Anda ingin menjadi atlet sepakbola sejak kapan?
Itu di Makassar, saya mulai ikut Liga di sana. Saya tahun 2010 juara Danone U-12 mewakili Makassar ke Jakarta, terus sampai di sini dapat peringkat tiga. Tidak lolos kan, balik lagi ke Makassar di sana saya kerja keras lagi, terus ikut lagi kompetisi Yamaha. Yang dipanggil cuma beberapa orang saya sama Asnawi perwakilan dari SSB Sulsel buat Yamaha. Itu juara satu.
Setelah itu saya dipanggil Timnas dari yang Yamaha itu. Nama saya sudah ada tapi disuruh bayar. Terus aku papah saya ditelpon katanya suruh bayar mau apa tidak, papah saya bilang tidak mau kalau suruh bayar. Nah saya digantiin.
Terus kita ikut lagi Danone juara lagi SSB saya 2011 mewakili Makassar, sampai di Jakarta tingkat nasional kita juara lagi. Tim saya berangkat ke Spanyol. Setelah itu saya dipanggil Timnas U-14 yang pelatihnya Maman Suryaman, itu saya juara di Sabah, Malaysia.
Lalu, bagaimana ceritanya Anda bisa tinggal di Jakarta ketika masih Remaja?
Waktu itu ada seleksi Mens Biore yang pegang Yeyen Tumena. Itu saya ikut sama satu ada striker dari Makassar, pelatihnya coach Agus. Di situ mungkin banyak telescoting. Terus saya seleksi Pertamina, saya dapat beasiswa tiga tahun. Papah saya bilang mau di Makassar atau Jakarta. Saya bilang saya mau merantau kalau di Makassar mungkin kurang, akhirnya saya putuskan pindah sekolah ambil beasiswa di Pertamina, itu SMA.
Ajang pertama apa yang membuat Anda berkesan?
Di tim Pra PON saya paling muda sama Asnawi. Di sana mulai saya dapat tekanan, ada pemain yang bilang kamu pasti cadangan, karena banyak pemain senior. Saya bilang tidak masalah, intinya saya masuk di tim ini dapat pengalaman, yasudah saya mulai buktiin.
Pas berangkat ke Bandung kan stopernya ada empat: Saya, Ade Setiawan, Hisyam Tole sama ada senior satu Musmadi. Nah di sini saya yang paling kecil. Yang dua pemain Adi Sama Tole. Pas ke Bandung, yang berangkat kan tiga, si Hisyam Tole masih sama Borneo tidak boleh ikut. Akhirnya saya dimainin sama pelatih, saya main bagus. Pelatih mulai suka sama saya. Saya akhirnya inti.
Babak pertama kalahkan Sulsel, 1-0. Babak kedua saya masuk gantiin gelandang. Hisyam Tole naik gelandang saya stoper. Di situ kalau kita kalah tidak lolos, kalau seri masuk. Di situ kita kalah, terus playoff lawan Maluku, sudah saya yang inti. Stoper sama Adi Setiawan, Tole yang gelandang. Memang kita adu penalti, jadi kita lolos ikut PON .
Pas PON saya intu terus, saya bersyukur dari pertama saya dapat tekanan mental tidak bakalan inti tapi saya buktiin. Pas di PON saya main terus akhirnya sampai final kita kalah dan peringkat kedua. Di situ mulai banyak telescoot, saya kemudian dipanggil Bhayangkara FC U-21.
Sudah masuk situ saya dipanggil pulang, ditelepon bapaknya Asnawi masuk PSM Makassar, akhirnya saya ikut sama Robert (Rene Albert). Di situ saya tidak fokus sama PSM, soalnya dipanggil Timnas U-19 di bawah Indra Sjafri.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.