Teknologi di Balik Pengumpulan Bocoran Panama Papers
"Berapa jumlah (bocoran) data yang kita bicarakan ini?"
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- "Hallo. Ini John Doe. Berminat akan data?"
"Kami sangat tertarik."
"Tapi ada syaratnya. Hidup saya dalam bahaya, kita hanya akan chatting lewat file yang terenkripsi, tidak saling ketemu, walau hanya sekali, cerita yang mau dipublikasi terserah kamu."
"Mengapa kamu mau melakukan ini (membocorkan data)?"
"Aku ingin publik tahu kejahatan-kejahatan ini."
"Berapa jumlah (bocoran) data yang kita bicarakan ini?"
"Lebih banyak dari yang pernah kamu jumpai sebelumnya."
Demikianlah percakapan di internet yang terjadi antara Bastian Obermayer, seorang reporter surat kabar Jerman Suddeutsche Zeitung dengan pria yang mengidentifikasi dirinya sebagai "John Doe" pada 2014 lalu.
Percakapan tersebut menjadi awal kebocoran data terbesar sepanjang sejarah yang kini ramai disebut dengan "Panama Papers."
Data ini berisikan informasi jaringan orang-orang berkuasa dan kaya di dunia yang memanfaatkan kebijakan keringanan pajak (tax haven) di Panama untuk menyembunyikan kekayaan, mencuci uang, atau menghindari pajak.
Data tersebut berasal dari kantor pengacara Panama yang bernama Mossack Fonseca yang di dalamnya memegang data rahasia dari 128 politisi dan pejabat publik di seluruh dunia, termasuk di dalamnya 12 pemimpin dunia yang masih menjabat atau yang telah pensiun.
Bagaimana ceritanya pembocor (whistleblower) yang anonim bisa mengirim data dalam jumlah besar hingga 2,6 terabyte, yang kemudian dianalisis oleh sekitar 400 jurnalis dari berbagai negara secara diam-diam selama lebih dari satu tahun, sebelum akhirnya dirilis ke publik?
Obermayer dan Direktur International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), Gerard Ryle menceritakannya kepada Wired dan dirangkum oleh KompasTekno, Kamis (7/4/2016) seperti berikut ini.
Percakapan dienkripsi