Asyiknya Menyusuri Sungai di Singapura Dengan Perahu Kayu
Ini asyiknya menelusuri Sungai di Singapura menggunakan bumboat atau perahu kayu.
Editor: Agung Budi Santoso
Ada patung First Generation yang menggambarkan lima anak yang hendak berenang ke sungai, patung A Great Emporium yang menggambarkan aktivitas pedagang di sisi sungai, dan ada patung Makan Angin yang mendeskripsikan kebiasaan keluarga di Singapura menghabiskan sore hari menikmati deburan angin sungai.
Semua patung itu mengenang kejadian pada masa lalu yang mustahil ditemui pada masa kini.
Memasuki sisi selatan sungai, pemandangan Singapura modern mendominasi.
Apabila sebelumnya cukup terlena dengan kawasan dan bangun bersejarah, pemandangan itu berganti dengan pemandangan puluhan gedung pencakar langit setinggi ratusan meter yang menjadi simbol imperium ekonomi Negeri Singa.
Selain itu, ada pula bangunan simbolik Singapura yang menghiasi sisi sungai.
Sebut saja patung ikonik Merlion, gedung pertunjukan berbentuk durian Esplanade, bangunan berbentuk tulip yang tak lain ArtScience Museum, Jembatan Helix yang menyerupai bentuk DNA, serta yang paling monumental Marina Bay Sands.
Upaya 10 tahun
Menjadikan Sungai Singapura seperti saat ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan murah, bahkan bukan pula karena peninggalan masa lalu.
Layaknya sungai di mayoritas negara Asia yang menjadi pintu masuk saudagar dari beberapa bangsa, Sungai Singapura pun terlihat kumuh oleh kehadiran kapal nelayan yang tidak teratur serta polusi oleh limbah peternakan dan pedagang pada masa lalu. Kala itu terjadi pendangkalan karena puing dan sampah banyak yang mencemari sungai.
Untuk mengembalikan daya tarik Sungai Singapura sebagai pusat peradaban, Perdana Menteri Lee Kuan Yew menggalakkan kampanye pembersihan sungai pada 1977.
Targetnya sederhana, ia ingin dalam 10 tahun warga Singapura sudah bisa kembali memancing di sungai tersebut. Dengan menghabiskan dana sekitar 170 juta dollar Singapura, Sungai Singapura kembali bersih pada 1987.
Pada tahun yang sama, dimulai pula kampanye melarang mengotori sungai atau jalan air di seluruh wilayah Negeri Singa. Alhasil, hingga kini Sungai Singapura telah menjadi daya tarik wisata serta menjadi simbol pertumbuhan ekonomi Singapura.
Dalam perjalanan itu, tak bisa ditepis impian menikmati lagi Sungai Ciliwung di Jakarta kembali dapat dilewati kapal-kapal kayu yang menjadi moda transportasi andalan sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Atau melihat bocah berenang di jernihnya air sungai. Tidak lagi mencium bau tak sedap dari sungai dan menyaksikan kondisi sungai yang dangkal dan penuh sampah.
Di atas bumboat dengan pancaran matahari petang dan sepoi angin senja, Kompas mengagumi Sungai Singapura sekaligus bermimpi situasi serupa di sungai milik Ibu Kota....(Muhammad Ikhsan Mahar)