Belajar Sejarah pada Peringatan 100 Tahun Museum Aceh: Kobarkan Nasionalisme
Sebuah frame sengaja dikosongkan agar pengunjung bisa berfota ria dan menempatkan wajahnya diapit oleh para pejuang kemerdekaan.
Editor: Malvyandie Haryadi
“Periodisasi sengaja dibuat runut untuk menjelaskan pembabakan perjuangan kemerdekaan. Mulai dari masa penjajahan, masa kebangkitan hingga masa kemerdekaan. Indonesia dengan kekayaan alam yang dimilikinya yaitu berupa rempah-rempah membuat Belanda sangat bernafsu menaklukkan nusantara,” papar Pemandu dari Museum Sumpah Pemuda, Yadi.
Saya dan para pengunjung lainnya yang kebanyakan adalah pelajar SD, SMP, dan SMA manggut-manggut dan mendengar cerita yang meluncur dari mulut sang pemandu.
Masa penjajahan
Yadi terdengar fasih dan bersemangat membeberkan kisah heroik para kesuma bangsa.
Mulai dari dahsyatnya perang Aceh yang berkecamuk hingga menempatkan provinsi di ujung barat Indonesia sebagai daerah modal.
Masa penjajahan Belanda dengan mendirikan Persekutuan Hindia Belanda atau yang dikenal dengan nama VOC menimbulkan gejolak perlawanan rakyat.
Aceh menjadi satu-satu daerah yang tidak berhasil ditaklukkan dan memberi pelajaran pahit bagi penjajah.
Aceh yang dikenal sebagai muslim yang taat mengobarkan semangat juang perang sabil yang menempatkan perlawanan bukan sebatas perang membela tanah air, melainkan perang membela agama.
Belanda harus menghabiskan banyak waktu dan menggelontorkan banyak uang termasuk merelalakan empat jenderalnya tewas.
Penjajah yang frustasi hingga melabeli dengan sebutan ‘Aceh gila’ kemudian mengubah taktik perang dengan mengirim seorang antropolog, Snouck Hugronje untuk belajar Islam ke tanah Arab guna menyelami kultur dan karakter orang Aceh.
Penjajah yang licik menerapkan politik devide et impera sehingga akhirnya bisa menancapkan kekuasaanya di Aceh, benteng terakhir pertahanan.
Setelah perang Aceh usai, penjajah leluasa menunjukkan taringnya dengan mengekspolitasi sumber daya alam Indonesia dan membuat rakyat di tanah terjajah melarat.
Hal itu menuai reaksi dari kaum humanis di negerinya sendiri sehingga memaksa Belanda menerapkan politik etis.
Sebuah kebijakan yang akhirnya menjadi pukulan telak bagi Belanda dengan lahirnya kaum terpelajar.