Ketika Mentari Pagi Membelah Kabut di Puncak Suroloyo, Bukit Tertinggi di Pegunungan Menoreh
Dari balik kabut putih itu pula, stupa puncak Candi Borobudur yang tampak berwarna hitam muncul di permukaan lautan kabut.
Editor: Malvyandie Haryadi
Perjalanan menuju puncak Suroloyo ala jungle tracking sungguh melelahkan, namun itu terbayar dengan keindahan pemandangan yang dapat dilihat dalam perjalanannya.
Terlebih pada saat sampai di puncak Suroloyo.
Tidak hanya itu, tampias keringat dan udara sejuk nan segar menjadikan diri kami merasakan sensasi yang luar biasa. Lelah tapi puas.
Saat sampai di sana saya melihat tiga buah gardu pandang.
Gardu-gardu tersebut sudah difasilitasi tangga yang kokoh.
Sungguh itu memanjakan orang-orang yang berwisata ke situ.
Menurut cerita yang pernah saya baca, gardu pandang tersebut dahulu adalah pertapaan, yang masing-masing bernama Suroloyo, Sariloyo dan Kaendran.
Tempat ini mempunyai kaitan sejarah dengan Kerajaan Mataram Islam.
Dalam Kitab Cabolek yang ditulis Ngabehi Yasadipura pada sekitar abad ke-18 menyebutkan, suatu hari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang kala itu masih bernama Mas Rangsang mendapat wangsit agar berjalan dari Keraton Kotagede ke arah barat.
Petunjuk itu pun diikuti hingga dia sampai di puncak Suroloyo. Karena sudah menempuh jarak sekitar 40 km, Mas Rangsang merasa lelah dan tertidur di tempat ini.
Pada saat itulah, dia kembali menerima wangsit agar membangun tapa di tempat dia berhenti.
Ini dilakukan sebagai syarat agar dia bisa menjadi penguasa yang adil dan bijaksana.
Selain memiliki pemandangan yang mengagumkan, Puncak Suroloyo juga menyimpan mitos.
Puncak ini diyakini sebagai kiblat pancering bumi (pusat dari empat penjuru) di tanah Jawa.