Bongo, Desa Terpencil di Gorontalo dengan Pemandangan Indah bak Negeri dari Serpihan Mimpi
Bongo adalah keajaiban perubahan sebuah desa terpencil, wilayah miskin terisolir menjadi desa mandiri yang mempesona.
Editor: Malvyandie Haryadi
Bentuknya unik dan fungsinya maksimal, di bagian bawah memiliki ruang terbuka yang digunakan untuk bercengkerama sambil menikmati udara segar, sementara bagian atasnya dapat digunakan untuk beristirahat.
Kolam jernih yang mengelilingi Masjid Walima Emas di Gorontalo, tepat di atas puncak bukit kapur. Laut di belakang adalah Teluk Tomini yang biru. (KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR)
Fosil-fosil kayu berusia jutaan tahun juga bisa disaksikan di Bongo.
Fosil ini adalah guratan perjalanan alam Gorontalo.
Pengunjung bisa melihat langsung ribuan fosil dan menyerap informasi tentang benda ini.
Sebab ada papan penjelasan yang menerangkan proses terjadinya fosil di Gorontalo.
“Awalnya desa kami gersang, masyarakatnya hanya bermata pencarian sebagai nelayan, kalau ada kebun biasanya ditanami kelapa. Sisanya perbukitan kapur yang ditumbuhi semak,” kata Hasan Rahim.
Kini Bongo memiliki daya tarik sendiri.
Sumur tua dibersihkan kembali, di sini setiap kelahiran calon Olongia dimandikan, tradisi ratusan tahun yang silam.
Pada sumur ini juga diketahui posisi permukaan air laut.
Pada bagian lain, bekas pertahanan bawah tanah masa lalu telah disulap menjadi musholla yang dindingnya digantungi informasi kekayaan budaya tanah Gorontalo.
Äda 2 kamar dengan udara berpendingin yang disediakan bagi tamu yang menginap.
“Kami berupaya semaksimal mungkin menyambut tamu dengan keramahan khas Bongo dan ucapan salam,” jelas Hasan.
Pria ramah ini bersedia mengantarkan pengunjung ke bagian lain desa Bongo. Bahkan ia dapat mengantar ke puncak bukit yang terdapat masjid Walima Emas.
Di masjid ini pandangan mata bisa menyapu ke segala penjuru mata angin, ada birunya Teluk Tomini, punggung bukit yang berjejer, perkampungan warga yang damai dan kelokan jalan kecil meliuk di punggung bukit.