Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Revitalisasi Pelatihan Kerja Perbaiki Ketimpangan Pasar Tenaga Kerja
Revitalisasi pelatihan kerja mendesak untuk dilakukan dalam rangka penurunan ketimpangan pasar tenaga kerja.
Ditulis oleh : NewsInfid
TRIBUNNERS - Revitalisasi pelatihan kerja mendesak untuk dilakukan dalam rangka penurunan ketimpangan pasar tenaga kerja.
Revitalisasi harus searah dengan strategi perencanaan pembangunan baik di nasional maupun daerah, termasuk sejalan dengan kepentingan industri.
Upaya-upaya tersebut juga disertai dengan strategi pengembangan industri padat karya yang dapat memberi kepastian kerja.
Pemerintah juga bisa memanfaatkan dana dari BPJS Ketenagakerjaan untuk memastikan tersedianya anggaran pelatihan kerja.
Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID, menambahkan pentingnya peran pihak-pihak terkait dengan revitalisasi pelatihan kerja.
“Pemerintah juga perlu melibatkan berbagai pihak seperti pelaku usaha, akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah daerah. Pelaku usaha dapat dilibatkan untuk memberikan daftar kebutuhan kepada pemerintah mengenai keterampilan dan kualitas sumber daya manusia yang diperlukan, sekaligus juga terlibat dalam proses pelatihan sehingga sesuai dengan kebutuhan industri. Demikian halnya dengan pihak-pihak lainnya yang semuanya memiliki peran penting," ujarnya.
Miftahudin, Staf Khusus Kementerian Tenaga Kerja RI, menambahkan, “revitalisasi pelatihan kerja telah menjadi perhatian pemerintah terutama di Kementerian Ketenagakerjaan. Hal ini didasari keinginan pemerintah untuk menurunkan ketimpangan yang saat ini rasio gini telah mencapai 0,41. Sementara di Timur Tengah rasio gininya 0,47 dan menjadi seperti sekarang. Salah satu ketimpangan adalah ketimpangan pasar kerja terjadi antara yang terampil dan tidak terampil. Timpang antara pekerja perempuan dan laki-laki. Juga ketimpangan pasar tenaga kerja di Jawa dengan luar Jawa. Serta ketimpangan penghasilan”.
Data Biro Pusat Statistik (BPS) di tahun 2015 menunjukkan angka pengangguran terbuka sebesar Rp 7,4 juta atau 5,6% dari total angkatan kerja.
Pengangguran tertinggi mencapai 27% merupakan lulusan Sekolah Mengah Umum (SMU), diikuti dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 22%, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (18%). Angka pengangguran tertinggi dialami masyarakat dengan usia 15 hingga 29 tahun mencapai 76%.
Data tersebut mengkonfirmasi temua survei barometer sosial yang dirilis INFID di tahun 2015, di mana tidak meratanya masyarakat mendapatkan kesempatan kerja menjadi salah satu penyebab meningkatnya ketimpangan.
“Kondisi tersebut sangat menghawatirkan karena kalau pengangguran terdidik masih memiliki peluang untuk wiraswasta atau mengembangkan usaha. Sementara kalau pengangguran dengan pendidikan rendah akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, pelatihan kerja harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan keterampilan kerja terutama bagi angkatan kerja baru yang tidak mendapatkan kesempatan pendidikan tinggi,” tutur Eny Sri Hartanti dari INDEF.
Demikian sejumlah catatan dari diskusi yang diselenggaran oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia yang berlangsung di Jakarta dengan tema revitalisasi pelatihan kerja.
Diskusi dihadiri oleh berbagai pihak mulai dari pelaku usaha, akademisi, masyarakat sipil, serikat buruh, dan juga pemerintah.