Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Ichsanuddin Noorsy: Panama Papers Wajah Lain dari Kegagalan Pemerintahan
Di Islandia, Perdana Menteri David Gunnlaugsson mengundurkan diri karena kemarahan yang meluas dari masyarakat.
Editor: Rachmat Hidayat
Dalam pengalaman saya, era 1998-2004 sebagai era penyehatan perbankan nasional adalah era yang menyakitkan sekaligus menguntungkan bagi pihak-pihak tertentu.
Menyakitkan karena saya mengetahui bagaimana para konglomerat mentransfer dana BLBI atau hasil Penjaminan Simpanan ke perusahaan offshore.
Atau bagaimana perusahaan-perusahaan offshore itu membeli aset perbankan dengan harga murah.
Saya juga menyaksikan bagaimana perusahaan-perusahaan offshore itu adalah perusahaan yang dimiliki para konglomerat yang membeli kembali aset yang mereka serahkan ke BPPN.
Peristiwa ini tentu menguntungkan bagi para konglomerat. Kredit macetnya direstruktur BPPN dengan kewajiban mereka menyerahkan aset. Saat yang sama mereka membuat transaksi-transaksi perbankan yang meyakinkankan lalu mereka bayar dengan BLBI atau dengan dana penjaminan.
Selanjutnya dana yang mereka peroleh ditempatkan di perusahaan offshore dan kemudian mereka membeli kembali aset yang diserahkan ke BPPN itu. Secara pribadi, situasi ini membuat sesak nafas.
Tapi pemegang otoritas nyaris tidak peduli karena yang penting perintah IMF untuk merestrukturisasi perbankan berjalan sesuai dengan agenda yang dcanangkan dalam Letter of Intent.
Pada 2001 sehari setelah Baharuddin Lopa dilantik menjadi Jaksa Agung, saya minum kopi pagi di rumah dinasnya di Duren Sawit bersama Lily Wahid.
Dalam kesempatan itulah saya menuturkan tentang peta kejahatan keuangan publik di Indonesia berdasarkan data sebanyak dua kontainer plastik.
Baharuddin Lopa meresponnya dengan, “yang penting peta kejahatan keuangan ini tidak didasarkan akan dendam atau kebencian.
Dengan dukungan data yang kuat, saya akan mengumumkan ke khalayak Indonesia bahwa saya sudah mempunyai peta kejahatan keuangan di Indonesia.”
Beberapa pekan setelah itu, Baharuddin Lopa dipanggil Yang Maha Kuasa.
Saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Yang pasti, kebijakan membeli kembali aset yang sudah diserahkan ke BPPN oleh obligor BPPN terus berjalan dengan berbagai macam modus operandi.
Jelas, kendaraan yang digunakan untuk membeli aset penyehatan perbankan yang besar-besar itu adalah perusahaan off shore. Dari posisi ini tergambar, perusahaan-perusahaan off shore bisa berperan sebagai penyembunyi kekayaan, sarana untuk menghindar dari kewajiban pajak, dan sarana mencuci uang.