Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Apa Untungnya bagi Pelaku Kejahatan Menjadi Justice Collaborator?
Selama belum ada kesepakatan mengenai JC antaraparat penegak hukum, pelaku kejahatan akan berhitung untung dan rugi menjadi JC
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNERS - Pelaku kejahatan saat ini semakin berhitung soal untung rugi untuk bekerja sama (justice collaborator/JC).
Hal itu disebabkan belum adanya cara pandang yang sama mengenai kriteria JC antaraparat penegak hukum.
Apalagi, risiko menjadi JC dengan mengungkap kejahatan pelaku lainnya sangat tinggi, bahkan bisa kehilangan nyawa.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, ekspektasi pelaku kejahatan menjadi JC, salah satunya untuk mendapatkan perlindungan maksimal.
Termasuk mendapatkan hak-hak dan penghargaan lainnya yang dimungkinkan diterima sesuai peraturan perundang-undangan, meski pada praktiknya tidak selalu begitu.
“JC juga tetap harus mengikuti proses persidangan. Di sinilah terbuka kesempatan perbedaan cara pandang antara penyidik, jaksa dan hakim terhadap status JC,” ujar Emerson dalam diskusi bersama media dengan tema, “Lemahnya Pemanfaatan dan Penghargaan JC dalam Pengungkapan Tindak Pidana” di kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Rabu (29/6).
Menurut Emerson, selama belum ada kesepakatan mengenai JC antaraparat penegak hukum, pelaku kejahatan akan berhitung untung dan rugi menjadi JC.
Hal ini tentu menyulitkan aparat penegak hukum membongkar kejahatan terorganisir, seperti kasus korupsi.
“Kalau tetap dihukum berat, apa untungnya menjadi JC? JC ini nantinya bukan lagi justice collaborator tapi justice calculator,” katanya.
Dari catatan ICW sendiri, dari ratusan tersangka yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sangat kecil peluang bagi mereka untuk lolos atau bebas dari jeratan hukum.
Peluang bagi mereka hanyalah menjadi saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum.
Akan tetapi, hal itu pun sangat tergantung pada kesamaan cara pandang penegak hukum terhadap status JC itu sendiri.
Kasus dimana status JC disematkan penyidik namun tidak diakui majelis hakim, seperti pada kasus suap terhadap anggota DPR Damayanti yang dilakukan Abdul Khoir, bukanlah yang pertama.
Sebelumnya juga ada kasus-kasus lainnya, seperti Kosasi Abbas yang menjadi JC dalam kasus korupsi di lingkungan Kementerian EDSM.