Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Menyoroti Peran Ulama Dalam Dinamika Politik
Tinggal tersisa beberapa bulan lagi kita semua akan sama-sama memasuki tahun pesta demokrasi yang merupakan tahun politik kebangsaan dinegara tercinta
Konsistensi Yang Dipertanyakan
Belakangan ini, fenomena ulama yang kemudian terjun kedalam politik dan secara tidak langsung menjadikan seorang ulama sebagai aktor politisi menjadi hal yang lumrah dan sah-sah saja dalam perundang-undangan.
Tak hanya menjadi sebuah tuduhan bagi kalangan ulama besar, hal ini juga dapat menjadi ‘senjata makan tuan’ yang mencoreng nama baik para tokoh agama tersebut.
Khususnya setelah dideklarasikannya salah satu ulama kondang yang ikut tercatat dalam bursa calon presiden dan wakil presiden periode 2019-2014.
Biasanya alasan yang sering digunakan adalah bertujuan untuk membela dan menjaga agama, pada poin ini tidak ada hal yang aneh dan perlu dikritisi secara mendalam, siapa saja berhak membela agama dengan cara apapun bahkan diranah menjabati sebuah kekuasaan.
Namun pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang dimaksud membela agama? Apakah membela agama harus merebut dan bertarung melalui kekuasaan melalui peran para ulama?
Apakah membela agama tidak cukup dengan menjaga konsistensi menegakkan nilai-nilai keagamaan seperti halnya keadilan, kedamaian, kerukunan, persaudaraan dan keragaman?
Akhir-akhir ini menjadi tawaran strategis, merangkul para ulama adalah cara jitu untuk tetap menjaga keutuhan beragama, memang sepintas terdengar sangat mulia dan luhur.
Dalam realitanya, teriakan-teriakan bahkan cara-cara seperti itu seakan-akan sungguh berhasil menghipnotis para pendengar atau si pembaca di halayak ramai baik media manapun.
Tapi politik sedikipun tidaklah mereda, bahkan semakin menjadikan agama beserta para ulama sebagai senjata dengan alih-alih menjaga kerukunan.
Yang terjadi, ulama sebagai symbol agama malah semakin kehilangan auranya sebagai salah satu instrumen pembawa kesejukan dan pencerahan bagi masyarakat.
Pada bagian inilah keterlibatan ulama dalam dunia perpolitikan seharusnya menjadi perhatian serius oleh semua elemen masyarakat, bahkan kalau seandainya boleh, perlu diberikan kritikan keras dalam rangka semata-mata ingin menjaga khittah para ulama dalam menjadikan agama sebagai sumber inspirasi bukan disintegrasi melalui celah-celah yang memungkinkan keduanya (agama-ulama) untuk dipolitisasi oleh oknum yang syarat akan kepentingan melalui kekuasaan disektor lokal, daerah maupun nasional.
Semestinya, dalam kondisi kebangsaan yang sekarang ini sedang carut-marut, masyarakat sangat membutuhkan ulama yang siap menjaga jarak dengan kepentingan politik praktis sembari mengedepankan pandangan dan nasihat keagamaan yang mencerahkan dan ikut andil dalam mengawal tumbuhnya wacana pemikiran-pemikiran solutif bagi kalangan pemerintahan demi mewujudkan kedamaian dan memperkuat keindonesiaan.
Kharisma Yang Melemah