Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perda Syariah, Ada atau Tidak ada
Dengan uraian di atas, hemat saya tidaklah perlu kita meributkan “Perda Syari’ah” yang banyak menimbulkan salah faham itu.
Editor: Rachmat Hidayat
Oleh Yusril Ihza Mahendra
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Keberadaan Perda Syariah kini muncul lagi ke permukaan dan selalu menimbulkan kesalahfahaman.
Perda, sejatinya adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat bersama-sama antara Gubernur dengan DPR Provinsi, atau antara Bupati/Walikota dengan DPR Kabupaten/Kota.
Di Aceh, Perda disebut dengan istilah khusus yakni Qanun. Istilah Qanun merujuk kepada tradisi hukum Islam, yakni peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara atau pemerintah.
Secara formal, di negara kita ini hanya dikenal adanya Perda saja, yang dikaitkan dengan daerah di mana Perda itu dibuat dan diberlakukan. Misalnya Perda DKI Jakarta, “Perda Kota Bandung dan Perda Kabupaten Belitung dan seterusnya. Perda itu diberi nomor dan tahun dan diberi judul tentang ruang lingkup pengaturannya.
Misalnya Perda Kabupaten Belitung Timur Nomor 2 Tahun 2017 tentang Retribusi Pedagang Kaki Lima. Apakah ada Perda yang secara khusus disebut Perda Syariah, misalnya Perda Provinsi Banten Nomor 10 Tahun 2018 tentang syariah? Perda semacam itu tidak ada, dan belum pernah dijumpai di daerah manapun di tanah air kita ini.
Secara akademis dan teoritis menuangkan syariah (Islam) ke dalam satu Perda itu dapat dikatakan sebagai hal yang tidak mungkin karena keluasan cakupan pengaturan syariah Islam itu sendiri.
Syariah adalah asas-asas pengaturan hukum yang ditemukan di dalam ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi yang mencakup hampir keseluruhan bidang hukum, baik di bidang peribadatan maupun di bidang hukum privat (perdata) maupun hukum publik yang sangat luas cakupannya.
Pada dasarnya syariah berisi asas-asas hukum, pengaturan-pengaturan yang bersifat umum dan tidak detil, kecuali di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Pengaturan yang bersifat asas dan umum itu adalah kebijaksanaan Ilahi agar syariah itu dapat ditransformasikan ke dalam hukum positif (hukum yang berlaku di suatu tempat dan zaman tertentu) sesuai dengan kebutuhan hukum dan perkembangan zaman.
Syariah bersifat abadi dan universal. Fungsinya adalah bimbingan dan petunjuk kepada pembentuk hukum (negara, pemerintah) dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif.
Dalam konteks kehidupan masyarakat, syari’ah diulas oleh para ulama dan dimanifestasikan ke dalam pendapat dan fatwa para ulama untuk dijadikan sebagai pedoman prilaku bagi masyarakat.
Dalam konteks negara, syariah dapat dijadikan sebagai sumber hukum, yakni rujukan dalam proses pembentukan hukum di pusat maupun di daerah. Di dunia internasional, syariah (terutama berkaitan dengan hukum perang dan perdamaian) sangat banyak dijadikan sebagai rujukan dalam penyusunan berbagai konvensi hukum internasional.
Guru saya, Prof Mochtar Kusumaatmadja, seorang ahli hukum internasional, mengakui bahwa sumbangan terbesar dari hukum Islam ke dalam hukum internasional, adalah terletak pada hukum perang dan perdamaian.
Dengan uraian singkat di atas, apakah memang ada Perda Syari’ah atau Undang-Undang Syari’ah di negara kita ini? Secara formal tentu tidak ada. Namun secara substansial keberadaannya tentu tidak dapat dihindari.