Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Demokrasi (Kabinet) Kekeluargaan
Kehadiran Prabowo dalam Kabinet Jokowi semakin menegaskan bahwa sosok demokrasi yang cocok untuk Indonesia bukanlah sosok demokrasi modern
Editor: Eko Sutriyanto
Demokrasi Kekeluargaan Indonesia
Demokrasi yang dianut oleh Indonesia bukanlah demokrasi sebagaimana demokrasi yang lahir dan bertumbuh di Barat dan Amerika yang menjadi contoh demokrasi modern.
Para founding fathers Indonesia bersepakat menolak demokrasi dengan prinsip liberalisme dari Barat karena mengandalkan penghormatan pada kekuatan dan keunggulan individual, tidak memberi tempat pada kohesi social yang mengutamakan kebersamaan dan harmoni.
Soekarno memberi contoh buruknya Demokrasi Barat: „Wakil kaum buruh jang mempunjai hak politiek itu, didalam Parlemen dapat mendjatuhkan minister. Ia seperti Radja! Tetapi didalam dia punja tempat bekerdja, didalam paberik, — sekarang ia mendjatuhkan minister, bésok dia dapat dilémpar keluar kedjalan raja, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Demokrasi yang khas Indonesia oleh para founding fathers adalah demokrasi yang ciri dasarnya kekeluargaan.
Soepomo dalam Rapat BPUPKI 31 Mei 1945 di Gedung Chuuoo Sangi-In menjelaskan, “ … prinsip persatuan antara pimpinan 'dan rakjat dan prinsip persatuan dalam negara seluruhnja tjotjok dengan aliran pikiran ketimuran. … Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan tjorak masjarakat Indonesia.” Bagi Supomo, corak asli Demokrasi Indonesia adalah kekeluargaan yakni negara integralistik.
Negara kekeluargaan mengutamakan harmoni, saling mengh
argai, meminimalisir perbedaan pendapat, tidak perlu saling mengkritik yang menyakitkan apalagi sampai perpecahan.
Persis seperti sebuah keluarga yang mana semua anggota keluarga saling menjaga harmoni. Karena itulah Soekarno merumuskan Pancasila pada Rapat BPUPKI 1 Juni dengan semangat demokrasi kekeluargaan khas Indonesia: “Kita hendak mendirikan suatu negara „semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan jang kaja, — tetapi „semua buat semua”.
Maka sejarah Indonesia pun dibangun tidak dengan adanya oposisi seperti praktek demokrasi di negara-negara Barat dan Amerika.
Karena postur demokrasi kita dibangun sebagai sebuah keluarga, maka partai yang kalah pun sangat layak untuk masuk ke dalam pemerintahan kubu yang menang.
Gambaran itulah yang ditampilkan dalam pelantikan Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dalam Kabinet Indonesia Kerja Joko Widodo.
Apakah langkah yang diambil oleh Prabowo akan merusak pengertian dan tatanan demokrasi?
Bagi Prabowo, masuk dalam kabinet adalah kesempatan untuk memberitahu ke public bahwa kepentingan membangun dan berbuat untuk kemajuan bangsa jauh lebih memberi nilai dan makna dibandingkan terus menerus memelihara rasa perasaan terluka anak-anak bangsa kedua kubu yang bisa semakin membelah persatuan dan kesatuan.
Bagi penganut demokrasi modern seperti yang bertumbuh di Eropah dan Amerika, sikap Prabowo akan dinilai mengkhianati nilai-nilai demokrasi yang ada di dalamnya ada oposisi.
Lalu bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia?
Sampai saat ini, kita masih sedang belajar berdemokrasi karena Indonesia memang tidak punya sejarah dan tradisi demokrasi. Postur demokrasi yang khas Indonesia masih dalam pencarian.***
*) Pengajar Ilmu Politik FISIPOL Universitas Kristen Indonesia, Jakarta