Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
"Banteng Ketaton"
PDIP ibarat "Banteng Ketaton", meminjam istilah Ronggo Lawe, maharesi yang hidup di zaman keemasan Kerajaan Majapahit.
Editor: Hasanudin Aco
Keesokan harinya, Jumat (17/1/2020), tim hukum PDIP menemui Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih, Gambir, Jakarta Pusat, untuk berkonsultasi sebelum melaporkan sejumlah media massa yang pemberitaannya dianggap merugikan PDIP. Entah media apa yang dimaksud.
Yang jelas, Wayan Sudirta mengaku akan melaporkan atau tidak melaporkan media tertentu setelah mendapat arahan dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP.
Terhadap KPK, PDIP juga mempersoalkan Surat Perintah Dimulainya Penyelidikan (Sprind-Lidik) Wahyu Setiawan yang ditandatangani Ketua KPK yang pada hari itu, Jumat 20 Desember 2019, habis masa tugasnya, yakni Agus Rahardjo.
Menurut Maqdir Ismail, anggota tim hukum PDIP, Sprind-Lidik itu tidak absah karena Agus Rahardjo dan empat komisioner KPK lainnya periode 2015-2019 telah diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo pada 21 Oktober 2019.
Memang, Keputusan Presiden (Keppres) No 112/P Tahun 2019 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dan Pengangkatan Pimpinan KPK ditandatangani Presiden Jokowi pada 20 Oktober 2019, tapi klausul ketiga Keppres ini menyebutkan, "Keputusan Presiden ini mulai berlaku sejak pengucapan sumpah/janji pejabat sebagaimana dimaksud dalam diktum kedua Keputusan Presiden ini."
Artinya, pada 20 Desember 2019 pagi atau sebelum Firli Bahuri dan empat komisioner KPK lainnya dilantik Presiden Jokowi sebagai pimpinan KPK periode 2019-2023, Agus Rahardjo masih sah sebagai Ketua KPK.
Lagi pula, bila mengikuti alur berpikir Maqdir Ismail, berarti sejak 21 Oktober 2019 hingga 20 Desember 2019 pagi KPK tanpa pimpinan, atau terjadi kekosongan kekuasaan atau "vacum of power" di KPK.
Kekuasaan Memabukkan
Bukan kali ini saja PDIP melawan KPK. Ketika pada 2014, KPK menetapkan Jenderal Budi Gunawan, sosok yang diusung PDIP sebagai calon Kepala Kepolisian RI, sebagai tersangka korupsi sehingga menggagalkan pencalonan BG yang sudah disetujui DPR RI itu, PDIP pun meradang dan melawan.
Hasto Kristiyanto, saat itu Plt Sekjen PDIP, kemudian menyerang Abraham Samad, Ketua KPK saat itu, dengan pernyataan-pernyataan pedas yang menyudutkan Abraham.
Abraham kemudian ditetapkan Polri sebagai tersangka pemalsuan dokumen kependudukan teman dekatnya, Feriyani Lim, sehingga harus lengser dari kursi Ketua KPK. Di pihak lain, status tersangka BG digugurkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dari kacamata PDIP, mereka memang pantas meradang. Pasalnya, yang melahirkan KPK adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang saat menjabat Presiden RI meneken Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Namun dalam perjalanannya, KPK ternyata menjadi "anak durhaka". Bila ada kader PDIP korupsi, tak pandang bulu KPK langsung membabatnya.
Sepanjang masa kerja DPR RI periode 2014-2019, sedikitnya ada tiga kader PDIP yang ditangkap KPK karena tersangkut kasus korupsi.