Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Perppu Pilkada, Kepastian di Tengah Ketidakpastian Covid-19
Ditengah peperangan melawan covid-19, Pemerintah mengeluarkan Perppu No 02 Tahun 2020 tentang Pilkada.
Editor: Dewi Agustina
Masalah hukum penetapan Pilkada pada September 2020 yang secara eksplisit disebutkan dalam UU Pilkada memiliki mekanisme yang telah diatur pula secara eksplisit.
Apabila timbul bencana, KPU dapat menetapkan penundaan Pilkada. Tidak ada kebutuhan yang mendesak harus menerbitkan Perppu untuk melakukan penundaan Pilkada.
Justru dengan adanya Perppu tersebut mengakibatkan adanya ketidakharmonisan.
Sebab kewenangan penundaan Pilkada yang ada pada KPU dan penetapan Pilkada Lanjutan ada pada Gubernur atau Menteri diambil alih oleh Presiden dengan menerbitkan Perppu.
Baca: Sejumlah Vendor di Jogja Berikan Paket Pernikahan Gratis bagi Petugas Medis yang Rawat Pasien Corona
Tidak hanya itu, penetapan Pilkada Desember 2020 dengan kondisi covid-19 yang belum dapat dipastikan akan berakhirnya, kembali menuai kontroversi apabila nantinya bencana ini tidak kunjung selesai menjelang Desember 2020.
Terhadap kategori kedua, terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai.
Dalam Perppu 02 tahun 2020 terdapat perubahan bahwa Penetapan Pilkada lanjutan melalui KPU bersama dengan Pemerintah dan DPR.
Dalam Perppu ini terdapat pula penambahan alasan penundaan Pilkada akibat adanya bencana non alam.
Kewenangan Penetapan Pilkada lanjutan baik dalam Perppu maupun UU Pilkada telah memiliki mekanisme yang jelas.
Dalam UU Pilkada disebutkan Penetapan Pilkada Lanjutan dilakukan oleh Gubernur untuk Pilkada Kabupaten/Kota atas usul KPU Kabupaten/Kota atau Menteri untuk Pilkada Provinsi atas usul KPU Provinsi.
Perubahan kewenangan penetapan Pilkada lanjutan menjadi pada KPU bersama dengan Pemerintah dan DPR adalah mekanisme baru menggantikan mekanisme yang lama.
Sehingga sebenarnya tidak ada kekosongan hukum atau setidak-tidaknya UU tersebut telah memadai.
Kemudian kategori ketiga otomatis tidak terpenuhi sebab kategori ketiga mengatakan apabila terdapat kategori pertama dan kategori kedua dan tidak memungkinkan membentuk UU yang baru maka dapat diterbitkan Perppu.
Kategori pertama tentang kebutuhan mendesak akan mekanisme hukum tidak terpenuhi, dan kategori kedua tentang kekosongan hukum atau UU tidak memadai tidak juga terpenuhi. Sehingga kategori ketida dengan sendirinya tidak terpenuhi.