Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hagia Sophia, Sandi 'Penaklukan' Politik Domestik Turki
Kebijakan Hagia Sophia dipilih Erdoğan karena memang punya magnet sebagai kekuatan pemersatu dari sekian ragam simbol bersejarah di Turki.
Editor: Malvyandie Haryadi
Hagia Sophia sebagai masjid sebenarnya adalah fakta sejarah yang selam ini telah menyatukan seluruh pihak.
Dalam hal ini, Hagia Sophia berada di persimpangan Turkisme dan Islamisme. Dapat dikatakan, Hagia Sophia sejatinya kata sandi yang menggabungkan kedua ideologi ini.
Ini adalah kata sandi "penaklukan", yaitu ideologi Ottoman, yang dimiliki oleh orang Turki dan nasionalis yang relijius.
Salah satu titik balik terpenting dari sejarah ini adalah tahun 1950-an. Pada tahun-tahun itu, kita melihat bahwa nasionalisme Ottoman dipersepsi sebagai hambatan bagi laju nasionalisme Kemalis.
Atas alasan Nasionalisme Kemalis, didirikanlah Museum pada awal 1950-an, setelah beberapa saat ditutup untuk direnovasi. Inilah yang menjadi "luka" bagi sebagian kalangan dan landasan bersama semangat 'penaklukan kembali' ini.
Islam-Turki, Reinterpretasi Memori Sejarah 'Penaklukan'
Sebagai upaya mengubah memori sejarah Tahun Penaklukan dan Penaklukan Istanbul yaitu dengan menjadikannya sesuai reinterpretasi sejarah versi nasionalis Kemalis.
Salah satunya dipimpin oleh sejarawan İsmail Hami Danişmend, yang mendirikan majalah Atsız. Diantaranya, menggelar ragam even peringatan 500 tahun penaklukan pada tahun 1953 bertujuan untuk mengambil alih interpretasi "warisan Ottoman yang agung", yang terkesan dibuang, dilupakan atau ditolak oleh rezim Kemalis.
Ia mengekspresikan banyak klaim dasar nasionalisme Turki dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan Sejarah Islam-Turki banyak terbit dalam bahasa Turki-Ottoman-Prancis.
Orang mungkin ingat Adnan Menderes, yang berperan menghapus adzan berbahasa Turki dan mengembalikannya menjadi bahasa Arab. Adnan Menderes, untuk dikenang merupakan negarawan Turki dan pimpinan pertama yang dipilih secara demokratis dalam sejarah Turki.
Mendirikan Partai Demokrat pada tahun 1946, partai oposisi resmi ke-4 di Turki, kemudian menjadi Perdana Menteri Turki antara tahun 1950–1960, dan berakhir di tiang gantung setelah kudeta militer 1960.
Namun, menjadi salah satu dari 3 pimpinan politik Turki yang dibangunkan mausoleum untuk penghormatan, selain Mustafa Kemal Ataturk dan Turgut Özal.
Meskipun Menderes mengembalikan Adzan menjadi bahasa Arab, dia tidak berani mengambil langkah apa pun tentang Hagia Sophia.
Sebab ini berkaitan dengan hubungan internasional pada waktu itu. Menjaga hubungan sedekat mungkin dengan Barat dan Yunani merupakan 'prasyarat' Turki menjadi anggota NATO pada tahun 1952.