Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hagia Sophia, Sandi 'Penaklukan' Politik Domestik Turki
Kebijakan Hagia Sophia dipilih Erdoğan karena memang punya magnet sebagai kekuatan pemersatu dari sekian ragam simbol bersejarah di Turki.
Editor: Malvyandie Haryadi
Namun, ini sebenarnya bagian dari program Kemalis menghapus Teks, Bahasa, dan Budaya Arab
Saat itu, Hagia Sophia menjadi pusat perhatian massif warga Turki dengan partisipasi puluhan ribu orang. Dimana beberapa hari sebelumnya, pada 30 Januari 1932, adzan Turki pertama digaungkan di Masjid Fatih.
Segala protes kalangan Islam terhadap gerakan Nasionalis Kemalis semacam itu hanya dapat bertahan hingga akhir tahun 1940-an.
Reformasi ini merupakan cerminan dari keinginan Republik untuk menjauh dari identitas "peradaban Islam" dan beralih mendekat ke peradaban Barat. Ideologi nasionalisme dianggap lebih fungsional, karena mereka percaya ini bisa terjadi melalui nasionalisasi. Oleh sebab itu, mereka ingin menasionalisasi agama.
Kaum Islamis marah karena proyek-proyek kaum nasionalis untuk menasionalisasi agama sama-sama merupakan gangguan terhadap kebebasan beragama. Inilah yang membuat kalangan islamis mendorong transisi demokrasi ke kehidupan multi-partai dan terutama tahun 1950-an.
Dampak Bagi Persepsi Internasional dan Clash of Civilization
Di sinilah pertarungan atau kontestasi sebenarnya yang dituju oleh Erdoğan. Pertarungan arus nasionalisme demokratik yang lahir 1950-an dengan nasionalisme Kemalis yang lahir 1930-an.
Erdoğan hendak membangkitkan trauma warga Turki terhadap lawan politiknya, menyadarkan Kemalis, nasionalisme sekuler, tetaplah berkuasa untuk tujuan menjauhkan diri dari masa lalu sejarah kakek-moyang Ottoman dan Islam.
Mereka ingin peran Islam tidak terlalu dominan dalam identitas nasional yang mereka coba ciptakan untuk warga negara Republik. Menurut nasionalisme dan sekularisme Kemalis, reformasi dalam agama sangat penting untuk pembangunan identitas nasional.
Meskipun demikian, dampak luar negeri dari kebijakan Erdoğan terkait Hagia Sophia ini justru perlu dikalkulasi. Tentu akan banyak dampak bagi persepsi masyarakat non-Muslim di luar Turki.
Terdapat kekhawatiran ketika kebijakan ini dikaitkan dengan kampanye Erdoğan tentang agenda pembebasan Al-Aqsha.
Tentu perlu dipikirkan bagaimana pola komunikasi Turki pasca kebijakan Hagia Sophia ini.
Sebab kita mengetahui bahwa Paus di Vatikan dan Uskup Agung Canterbury merupakan pihak yang melakukan perbincangan langsung dan memiliki kesamaan pandangan dengan Erdoğan tentang upaya melindungi status Yerusalem sebagai kota tiga agama, merawatnya sebagai warisan UNESCO, dan membentuk aliansi antar peradaban.
Populisme yang dipilih Erdoğan dalam kebijakan Hagia Sophia ini tidak boleh menjadi penajam dalam potensi Clash of Civilization.
Erdoğan, di samping memikirkan momentum politik domestik yang hendak dicapainya, memang akhirnya dipersepsi memiliki tujuan lain di balik kebijakan Hagia Sophia seperti kebijakan luar negeri terhadap Yunani, kalangan Kristiani internasional, meraih simpati kalangan Islamis global dan dunia Muslim, atau bahkan agenda mengambil alih Israel.
Sebagai konsekuensi meningkatnya kepemimpinan Turki di kawasan, memang akhirnya ketegangan klasik nasionalis demokratis vs nasionalis kemalis yang terjadi dalam kontestasi politik domestik, serta pertarungan internal dan obsesi aktor politik domestik Turki kini tak terhindarkan menjadi panggung yang disaksikan anak segala bangsa.
*Peraih Doktor (Ph.D) Ilmu Politik dan Hubungan İnternasional dari İstanbul University, Turki