Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
'Bernyanyilah' Anita dan Pinangki
Keduanya diharapkan bisa membongkar pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelarian Djoko Tjandra. Ayo, "bernyanyilah" Anita dan Pinangki.
Editor: Hasanudin Aco
Adapun status tersangka Prasetijo Utomo tertuang dalam Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor B/106.4a/VII/2020/Ditipidum yang diteken Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo tertanggal 20 Juli 2020.
SPDP tersebut ditujukan kepada Jaksa Agung.
Polri juga mencopot Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo dari jabatan masing-masing.
Dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri akan menelisik dugaan aliran dana dari Djoko Tjandra kepada oknum-oknum tersebut. “No lunch free”, tak ada makan siang gratis. Polri mengisyaratkan akan ada tersangka baru.
Yurisprudensi
Polri juga telah menetapkan pengacara Djoko Tjandra, Anita Kolopaking, sebagai tersangka. Anita dijerat dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP terkait penggunaan surat palsu dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Mestinya Anita dijerat dengan pasal berlapis. Selain Pasal 263 ayat (2) KUHP, juga Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal tersebut sudah ada yurisprudensinya, yakni ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, Ketua DPR saat itu, dengan Pasal 21 UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001, karena merintangi penyidikan atau “obstruction of justice” dengan memfasilitasi pelarian tersangka korupsi proyek KTP elektronik di Kementerian Dalam Negeri itu. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) menghukum Fredrich 7,5 tahun penjara.
Mestinya jaksa Pinangki juga dipidanakan, tidak sekadar dicopot jabatannya. Bagaimana pula dengan nasib Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Anang Supriatna yang juga bertemu Djoko Tjandra? Mengapa pihak Kejagung menghentikan pemeriksaan Anang?
Kasus Pinangki ini bukan yang pertama kali terjadi di Kejagung. Sebelumnya ada jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap saat menangani perkara korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan Sjamsul Nursalim. Bila Kejagung tak tegas, bahkan melindungi oknum-oknumnya dengan semangat "esprit de corps", niscaya akan bermunculan Urip dan Pinangki lain. Kasus Pinangki bukan yang terakhir.
Begitu pun, bila Polri tidak tegas, akan muncul Prasetijo-Prasetijo yang lain. Kasus Prasetijo bukan yang pertama dan terakhir. Sebelumnya ada mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo. Bahkan ada dua mantan Kabareskrim Polri, yakni Komjen Suyitno Landung dan Komjen Susno Duadji.
Bila kucing tak tegas, jangan harap tikus-tikus di Polri dan Kejagung akan jera.
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.