Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Menimbang Kasus Mumtaz Rais

Mumtaz kedapatan bertelepon saat pesawat transit untuk mengisi bahan bakar di Bandar Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Menimbang Kasus Mumtaz Rais
Instagram/mumtaz.rais
Ahmad Mumtaz Rais merupakan anggota DPR DPR RI periode 2009-2014 dari Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus anak dari mantan ketua MPR Amien Rais. 

Adapun sanksi atas pelanggaran Pasal 54 huruf f diatur dalam
Pasal 412 ayat (5) undang-undang yang sama, yakni pidana penjara selama dua tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta rupiah.

Pihak Mumtaz beralibi, Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu bertelepon saat pesawat sedang berhenti transit.

Alibi ini tak dapat diterima, karena saat bertelepon Mumtaz ada di dalam pesawat.

Pihak Mumtaz berdalih, setelah diketahui Nawawi adalah Wakil Ketua KPK, keributan politisi muda itu dengan yang bersangkutan sudah diselesaikan di dalam pesawat, disaksikan awak kabin, sehingga masalah dianggap selesai.

Tapi, Nawawi bilang, tak ada kata maaf-memaafkan, sehingga persoalan belum selesai. Untuk itu, seturun dari pesawat ia tetap mengadu ke Pos Polisi Terminal 3 Bandara Soetta.

Baiklah, untuk masalah Mumtaz dengan Nawawi bisa saja dianggap selesai, meski Nawawi bisa menuntut Mumtaz dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Tapi soal dugaan pelanggaran Pasal 54 huruf f UU No 1/2009 tentu tak bisa dianggap selesai begitu saja.

Masalah Mumtaz dengan Nawawi bisa dianggap selesai sepanjang Wakil Ketua KPK itu tidak mengajukan tuntutan pidana, karena masuknya ranah delik aduan.

Berita Rekomendasi

Sedangkan masalah dugaan pelanggaran UU Penerbangan tak bisa dianggap selesai, karena masuknya ranah delik biasa, bukan delik aduan.

Dimaklumi, pada dasarnya dalam suatu perkara pidana, pemrosesan perkara digantungkan pada jenis deliknya.

Ada dua jenis delik sehubungan dengan pemrosesan perkara pidana, yakni delik aduan dan delik biasa.

Dalam delik biasa, perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban).

Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.

Berbeda dengan delik biasa, delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana.

Dalam delik aduan, penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian.

Halaman
123
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas