Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hakikat Berbagi Roti dan Kopi ala Turki dan Prancis
Turki memliki budaya dan tradisi berbagai roti (ekmek) di berbagai gerai penjual roti. Di Prancis ada juga tradisi berbagi kopi di berbagai kedai kopi
Editor: Setya Krisna Sumarga
Dus, tradisi lama yang baik, memang tampak langgeng di sana. Termasuk saat kami membahas “diplomasi kopi” yang serasa tak bertepi.
April 2013, menemani Jusuf Kalla, kami sarapan di Restoran Gorkem Kilis Sofras, di tepi Laut Marmara. Pemilik restoran, Sadettin Ulubay, yang merupakan salah satu konglomerat di Istanbul, memperkenalkan cita rasa kopi Turki yang terkenal.
"Sebagai hidangan penutup, kami sajikan Turkish Coffea, yang kalau diminum cita rasanya akan bapak kenang selama 40 tahun," kata Ulubay sambil mengangkat sloki kopinya.
JK kemudian menyambut dengan mengatakan, "Kami juga di Indonesia memiliki macam-macam kopi yang terkenal, antara lain kopi luwak. Bedanya kalau kopi Turki bisa memberi kenangan selama 40 tahun, kopi kami di Indonesia cukup Anda kenang satu tahun saja. Karena itu, Anda harus datang ke Indonesia setiap tahun agar kenangan Anda tentang Indonesia tidak hilang," kata JK disambut tawa Ulubay.
Secangkir Kopi di Dinding
Nah, bicara kopi, Anda harus melanjutkan membaca tulisan ini. Kisah roti Turki tadi mengingatkan saya pada tradisi “secangkir kopi di dinding” yang berkembang di Paris, Prancis.
Mirip askida ekmek, bedanya ini terjadi di sebuah cofeeshop terkenal tak jauh dari Menara Eifel sebagaimana pernah saya baca dari sejumlah postingan di media sosial.
Bermula dari seseorang yang membayar dua gelas, atas segelas kopi yang ia minum. Oleh pelayan, segelas kopi –yang tak pernah disajikan—ditulis dalam selembar kertas, lalu ditempelkan di sebuah papan di dinding.
Kertas tadi bertuliskan un verre de café yang artinya “segelas kopi”. Kali lain bahkan ada yang membayar seharga tiga gelas kopi, meski ia hanya minum secangkir.
Syahdan, si pelayan akan menggantungkan dua kertas bertuliskan un verre de café di dinding. Begitulah tradisi “membayar lebih” dengan maksud “berbagi”. Meski hanya secangkir kopi.
Tibalah suatu ketika, datang lelaki tua. Sambil menatap waiter lalu memalingkan pandangan ke dinding dan berkata, une tasse de café sur le mur yang artinya, “satu cangkir kopi di dinding”.
Waiter langsung berjalan menuju dinding, menarik satu lembar, meremas dan membuangnya ke tempat sampah. Sejurus kemudian ia pun menyajikan satu cangkir kopi kepada pria papa tadi.
Betapa lelaki tadi pun akhirnya bisa mereguk nikmatnya kopi, tanpa harus mengemis. Ia, waiter, bahkan pengunjung lain, bahkan tak perlu tahu, “siapa” gerangan yang telah memberinya secangkir kopi.
Sambil menanti Imsak, melayang angan-angan, “Alangkah indahnya kalau tradisi memuliakan ‘berbagi’ itu masif di Indonesia. Di negeri gemah-ripah loh jinawi dengan penduduknya yang terkenal ramah-tamah dan berjiwa sosial gotong-royong.”