Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Respon Poros Global Moderasi Islam dan Posisi Strategis Zuhairi Misrawi Sebagai Duta Besar Saudi

Salah satu dari warga Nahdliyin yang cukup viral belakangan ini adalah Zuhairi Misrawi (Gus Mis), sosok intelektual berdarah Madura.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Respon Poros Global Moderasi Islam dan Posisi Strategis Zuhairi Misrawi Sebagai Duta Besar Saudi
Tribunnews.com/Y Gustaman
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Zuhairi Misrawi, saat mengunjungi kantor Tribunnews.com, Jakarta, Kamis (9/7/2015). 

Respon terhadap Poros Global Moderasi Islam dan Posisi Strategis Zuhairi Misrawi Sebagai Duta Besar Saudi

Oleh: KH. Dr. Aguk Irawan MN*

TRIBUNNEWS.COM - Poros Global Moderasi Islam merupakan amanat Muktamar Nahdlatul Ulama tahun 2015, Jombang, Jawa Timur. Seluruh warga Nahdliyiin khususnya dan umat muslim Indonesia umumnya dituntut memiliki visi menyebarkan nilai-nilai moderat (wasathiah) Islam ke seluruh penjuru dunia, serta mendorong terlibat aktif dalam upaya menciptakan perdamaian abadi.

Agar lebih estetis, terminologi “Islam Nusantara” mulai dipopulerkan. Sejatinya, Islam Nusantara merupakan Islam yang mengusung spirit Wasathiah atau Moderatisme. Term ini tidak dapat dipisahkan dari situasi dunia yang mencekam, krisis global kemanusiaan, konflik bersenjata, baik antar negara maupun antar aliran dalam setiap negara.

Negara yang paling rawan konflik bersenja adalah kawasan Timur Tengah. Persaingan antara Arab Saudi dan Iran menyebabkan Yaman sebagai korban, ranah perang proksi. Persaingan antara Rusia dan Amerika menjadikan Suriah sebagai ladang bom dan berondong artileri. Sementara Israel dan Palestina tidak kunjung tuntas memperebutkan tanah bersejarah nan bertuah.

Parahnya konflik global tersebut diimpor ke Indonesia. Berbagai ideologi yang tidak genuine didatangkan dari Timur Tengah dan ditumbuhsuburkan di ibu pertiwi ini. Kebanyakan membawa nama Islam, sekalipun mencoreng dan mencederai Islam itu sendiri. Muktamar Jombang membayangkan, masalah global ini mendapatkan solusi dari model Islam Nusantara.

Model Islam Nusantara tersebut adalah bentuk keagamaan yang ramah terhadap perbedaan, toleran terhadap kelompok beda keyakinan, menghargai kebudayaan, melestarikan kearifan lokal. Islam tidak ditampilkan sebagai wajah destruktif melainkan akomodatif.

Berita Rekomendasi

Salah satu dari warga Nahdliyin yang cukup viral belakangan ini adalah Zuhairi Misrawi (Gus Mis), sosok intelektual berdarah Madura, berkarier sebagai politisi di PDI-P, dan menimba ilmu pengetahuan di Mesir sebagai bagian dari keluarga besar Azhariyyin. Pemberitaan di media massa mengabarkan bahwa nama Zuhairi ini masuk ke dalam jajaran bursa pencalonan sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi.

Hubungan dekat penulis dan Zuhairi lahir lantaran sesama warga Nahdliyin dan Azhariyyin. Dalam amatan penulis, NU dan Al-Azhar sama-sama mengusung teologi Islam Wasathiah. Bukan saja tokoh-tokoh NU melainkan tokoh-tokoh Al-Azhar juga aktif mempromosikan Islam Damai, bekerjasama dengan tokoh lintas iman di level internasional. Vatikan adalah saksi mata untuk itu.

Ide Islam Damai menjadi gaung global karena terpancing oleh situasi dunia kontemporer yang dihantui radikalisme. Kelompok radikal ini telah menyelewengkan tafsir agama, hanya untuk ambisi kekuasaan politik dan perebutan sumber ekonomi. Islamic State (IS), misalnya, telah mengubah kawasan Timur Tengah sebagai “neraka” dengan mengatasnamakan ajaran Islam.

Indonesia merasa penting untuk menyuarakan Islam Nusantara, mengingat IS ataupun ISIS memperlihatkan wajah Islam yang kejam, anti kemanusiaan. Islam versik kelompok radikal ini harus dilawan dengan versi Islam yang lebih sejuk. Zuhari Misrawi sebagai warga NU, pengamat Timur Tengah, dan alumni Mesir cukup representatif dalam memandang peta politik global ini.

Namun, yang penting dicatat adalah bahwa Duta Besar RI untuk Arab Ssaudi sebelumnya, Agus Maftuh, sudah melakukan rintisan yang cukup gemilang. Agus Maftur merintis Saudinesia, sayangnya proyek ini belum maksimal dan membuahkan harapan besar. Nilai-nilai Islam Moderat dari Indonesia tidak sepenuhnya mengubah citra Arab Saudi, lebih-lebih dalam berhubungan dengan Iran.

Di Indonesia, Sunni dan Syi’ah mampu hidup berdampingan. Percekcokan antara Sunni-Syi’ah sudah tidak dapat diterima oleh selera publik. Walaupun harus diakui, sebagai kelompok minoritas, Syi’ah Indonesia belum menemukan hak-haknya yang utuh, seperti sebagian umat Syi’i di Madura. Perjuangan Zuhairi pada umat Syi’ah di level nasional, adalah bekal perjuangan kelak saat ia di Arab Saudi.

Penulis rasa, inilah kata kunci yang menjadi tugas berat Zuhairi Misrawi, yakni membawa satu payung yang lebih besar untuk melanjutkan tongkat estafet perjuangan Agus Maftuh. Zuhairi harus lebih aktif lagi, berjuang di tingkat nasional, untuk melindungi minoritas, menyelesaikan secara politis maupun ideologis riak-riak konflik antar Sunni-Syi’ah. Semua itu akan menjadi bekalnya di tingkat global nantinya.

Sayangnya, pandangan Zuhairi tentang Timur Tengah sangat musykil. Idenya yang terbaru tentang Arab Saudi berjudul “Poros Global Moderasi Islam Indonesia-Arab Saudi” seakan-akan memuji sepak terjang Muhammad bin Salman (Detik, 26/02/2021). Sementara dalam artikel sebelumnya berjudul “Dua Wajah Arab Saudi,” Zuhairi melihat dua wajah Arab Saudi, dilema antara negara pengusung moderasi dan negara pelaku pelenggaran Hak Asasi (SuaraIslam, 9/03/2018).

Selain itu, dalam artikel berjudul “Masa Depan Muhammad bin Salman,” Zuhairi meramal bahwa jika Joe Biden memenangkan Pemilu Presiden Amerika, maka MBS akan mengalami badai politik dan akan diadili sebagai pembunuh Kashoggi (Detik, 15/10/2020).

Dari dua artikel yang terbit tahun 2018 dan 2020, Zuhairi lebih tampak sebagai intelektual murni, pengamat politik Timur Tengah, sehingga tanap ada rasa sungkan membuka ‘borok’ politik putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman (MBS). Namun, artikel tahun 2021 lebih tampak sebagai upaya untuk memihak kepada MBS melalui jalur argumentasi ilmiah. Perkembangan pemikiran Zuhairi semacam ini dapat dilihat lahir dari kehendak politiknya untuk menjadi Dubes.

Untuk itulah, payung pemikiran yang lebih luas dari apa yang sudah dirintis oleh Agus Maftuh sangat dibutuhkan. Islam di Nusantara harus mampu dipromosikan sebagai teladan bagi keberislaman masyarakat Timur Tengah, khususnya hubungan Arab Saudi dan Iran, antara Sunni dan Syi’ah. Karena pertarungan sesungguhnya bukan landasan agama melainkan soal politik kekuasaan. Wallahu a’lam bis showab.

*Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta dan Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya dan Peradaban Islam (LSBPI) Majlis Ulama Indonesia Pusat.

Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
×

Ads you may like.

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas