Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Haji Abdul Latif Syakur Penengah Kaum Muda dan Kaum Tua di Minangkabau
Sejak era tiga orang haji (Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang) yang mengawali gerakan Paderi tahun 1800 an, kemudian gerakan pembaharuan
Editor: Toni Bramantoro
Dalam artian, HALS mengambil sisi positif yang dipunyai kedua kubu, sekaligus menolak apa yang menurutnya tidak benar dari ide keduanya.
Seperti diketahui, hulu gerakan reformasi pendidikan dan sosial masyarakat minangkabau abad 20 berpusat kepada empat nama, Syekh Djamil Djambek (1862-1947 M.), Syekh Muhammad Thaib Umar (1874-1920 M, Haji Abdullah Ahmad (1878-1933 M) dan Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M.).
Mereka menyebarkan pemikiran pembaharuan Islam yang bercorak Mesir setelah terinspirasi oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Kiprah mereka sebagai ulama Kaum Muda yang cenderung frontal, menyerang apa yang dianggap sebagai paham kuno dan tradisionalis tak diragukan lagi membuat gejolak dalam masyarakat Minangkabau dan berujung polarisasi atau penolakan dari apa yang kita kenal sebagai Kaum Tua.
Penolakan yang juga berarti upaya dalam menangkis serangan-serangan yang datang yang dalam beberapa aspek berhasil memaksa aliran ini melakukan perubahan seperti yang dilakukan Kaum Muda.
Di tengah polarisasi itu, HALS mengambil langkah sendiri dan berbeda. Dirinya mengambil jalan pengajaran secara dengan tidak membuat konfrontasi dengan salah satu kedua kelompok itu. Premis awal yang ia ketengahkan, bahwa perdebatan yang terjadi pada dua kelompok tersebut hanya bersifat khilafiah dan bisa ditengahi.
Karena bersifat khilafiyah, dia jadi tidak perlu diperbicangkan lebih dalam karena tidak membantu untuk membangkitkan pedadaban Islam. Apalagi jika dijalankan secara frontal yang menjadi ciri khas Kaum Muda,, alih-alih memberi manfaat, tapi justru mendatangkan perpecahan.
Tema yang menjadi inti perdebatan antara kaum muda dan kaum tua yang coba didamaikan HALS antara lain. Jika kaum tua menyebut pintu ijtihad sudah tertutup, sementara bagi kaum muda dianggap masih terbuka dan keharusan. Oleh HALS dibuatkan jalan tengah dengan menyebut bahwa Ijtihad bisa dilakukan dengan syarat-syarat tertentu.
Kaum Muda menolak praktek tasauf/amalan tarekat Kaum Tua yang dianggap mengandung khurafat. Ini didamaikan HALS dengan mengatakan bahwa ummat harus mendefinisikan ulang makna dan praktek-praktek amalan seperti Rabithah.
Jika Kaum Tua mewajibkan taqlid pada satu Mazhab (Syafi'i) dan Kaum Muda memilih dalil yang paling kuat atau bebas beazhab. Oleh HALS itu dianggap bukan masalah prinsip karena perbedaan pendapat adalah kelapangan dalam beragama.
Masih ada sejumlah pemikiran HALS di beberapa bidang lain seperti Islam dan Kemanusiaan. Islam dan pendidikan serta Islam dan kemajuan perempuan, yang jika dibaca secara jeli, melebihi para pemiIr modernis lain, namun berakar pada aspek-aspek pemikiran kelompok tradisionalis.
Jejak karyanya dalam bentuk tulisan dan buku pun banyak dan bisa diakses oleh generasi sekarang.Meski sebagian besar tertulis dalam bahasa Arab atau tulisan Arab Melayu.
Maka menjadi wajar jika dalam perjalanannya, sosok HALS mendapat tempat terhormat baik di kalangan Modernis atau tradisionalis.
*Yosi Nofa, Dosen STAIN Lubuk Sikaping Pasaman, Sumatera Barat, mahasiswa program doktoral UIN Jakarta