Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Kembalikan Tabungan Kami, Pak Jokowi
Kita sering sekali menyaksikan rakyat protes karena tabungannya lenyap atau klaim asuransinya tidak dibayar, bahkan ada yang demo di kantor cabang
Editor: Yudie Thirzano
Oleh: Xavier Quentin Pranata*
TRIBUNNEWS.COM - “Sudah 1,5 tahun nasib kami terlunta-lunta…,” begitu Ester Yeni dari Kediri memulai surat pembacanya. Kemudian dia menjelaskan bahwa dia ikut asuransi yang dijamin OJK. “Tolong pisahkan dan kembalikan harta kami para pemegang polis karena kami setor… melalui virtual account bank. Seharusnya, sangat mudah dilacak. Itu juga jika memang negara ini tidak berniat merampok dan menumbalkan kami. Tolong kami. Kembalikan tabungan kami, Pak Jokowi,” lanjutnya.
“Pembaca Menulis” yang diberi judul “Tolong Kami Pak Presiden” di koran nasional itu disertai gambar yang cukup menggelitik, yaitu seorang wanita berbaju merah yang marah-marah sambil berkata, “Kami warga negara Indonesia, nggak mungkin minta tolong ke presiden Zimbabwe, Pak!”
Baca juga: Warga Mengadu ke DPRD Batam Jadi Korban Bumiputera
Baca juga: Jeritan Nasabah di Bekasi, Uang Tabungan Paket Lebaran Nyaris Rp 1 Miliar Tak Kunjung Cair
Baca juga: Temui Mahfud MD di Kopi Johny, Forum Nasabah Korban Jiwasraya Minta Aspirasi Disampaikan ke Jokowi
Saat membaca surat pembaca dan melihat gambar ilustrasi yang menyertainya ada dua perasaan yang menyergap saya.
Pertama, kasihan. Sebagai sesama rakyat kecil, saya bisa merasakan bagaimana perasaan Ester. Bisa jadi dia mengumpulkan uang itu bukan sekadar ikut asuransi melainkan untuk tabungan masa depan. Mungkin juga dia berharap di masa pandemi seperti ini, investasinya bisa keluar. Saya tidak tahu produk asuransi apa yang dia beli: risiko saja atau plus investasi berjangka.
Kedua, geli.
Gambar yang dibuat ilustrator korban itu dengan tepat menggambarkan orang yang putus asa. Kemungkinan besar Ester sudah berulangkali telepon, bahkan datang ke kantor cabang asuransi di kotanya tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan atau pulang dengan tangan hampa, kekcuali janji. Bagaimana rasanya jika keluhan kita tidak ditanggapi? Ada kemarahan terpendam seperti lava yang akhirnya meletus karena lapisan di atasnya tidak mampu lagi menahannya.
Saya percaya Ester sudah berusaha ke sana kemari untuk mencari pertolongan, tetapi janji kosong yang terus-menerus membuatnya frustrasi. Di tengah kebingungan semacam itu, kepada siapa lagi dia bisa minta tolong selain orang nomor satu di republik ini? Bayangkan seorang anak kecil yang dirundung saudara-saudaranya dan tidak bisa minta tolong kepada ibunya, lalu kepada siapa dia harus berpaling? Kepala keluarga. Jadi, surat terbuka Ester di “Pembaca Menulis” kepada Pak Jokowi tidak mengada-ada.
“Masa seorang presiden harus turun tangan sendiri dan mengurus klaim asuransi yang gagal?” Pasti ada suara seperti ini. “Emangnya presiden tidak punya pembantu?”
Jangan keburu menuduh bahwa yang bersuara itu nyinyir. Pendapatnya masuk akal. Presiden bukan saja punya menteri dan jajaran yang menjulur sampai ke bawah. Bukankah etika komunikasi semestinya lewat tangga birokrasi dan tidak langsung bypass ke pucuk pimpinan? Betul, tetapi bagaimana jika tangga birokrasi itu rusak, bahkan patah? Di sinilah persoalannya. Anak tangganya yang patah atau pemimpin yang ogah turun ke bawah? Saya ‘mendapatkan’ jawaban saat naik sebuah angkutan daring. Di sebuah jalan besar di tengah kota, saya melihat walikota sedang sibuk mengurus lalulintas. “Memangnya tidak ada polisi yang bisa mengurus hal itu?” ujar driver online itu tiba-tiba. “Pencitraan saja,” lanjutnya.
Kembali ke kasus Ester? Surat pembaca itu hanya sebuah pucuk gunung es. Bukankah kasus seperti Ester marak? Baik di media massa arus utama baik cetak maupun elektronik dan digital, kita sering sekali menyaksikan rakyat protes karena tabungannya lenyap atau klaim asuransinya tidak dibayar, bahkan ada yang demo di depan kantor cabang perusahaan asuransi. Apa tujuannya? Bisa jadi agar diliput media massa dan akhirnya TERDENGAR oleh orang yang dianggap mampu menyelesaikan masalahnya.
Ester memakai “Surat Pembaca” sebagai toa agar didengar orang yang duduk di pusat kekuasaan. Apakah benar Jokowi duduk di menara gadingnya sehingga tidak peduli dengan rakyat kecil? Dari apa yang saya lihat dan rasakan, kesan itu tidak ada. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu turba, bahkan bagi-bagi sepeda kepada anak sekolah yang bahkan jawabannya belepotan.
Di sinilah jubir atau staf komunikasi istana disorot. Kasus oleh-oleh bipang dari Ambawang yang menjadi viral itu merupakan contohnya. Dari penelusuran saya di mesin pencarian, bipang itu bukan jipang, melainkan babi panggang suku dayak dari Kalbar. Ketimbang menyamarkan atau mengalihkan arti bipang ke jipang yang dibuat dari beras, bukankah lebih elok kalau dijelaskan bahwa Jokowi merupakan presiden semua suku di Indonesia dan apa salahnya mempromosikan makanan khas masing-masing? Atau malah tidak perlu diklarifikasi sehingga makin terglorifikasi.
Kasus Ester Yeni dan Bipang Amwabang mengingatkan saya tentang cara komunikasi yang baik dari seorang pemimpin. Saya sudah lupa nama pembicara dari Finlandia itu, tetapi saya ingat persis akronim yang dia pakai. Di hadapan audience-nya dia memakai kata ‘RASA’. Sebagai orang Indonesia saya bangga karena ‘RASA’ itu—menurut penjelasannya sendiri—berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti ‘juice’ atau ‘essence’. Dengan memakai ‘biang’ atau ‘inti’ RASA inilah seorang pemimpin selayaknya memperlakukan orang-orang yang di bawah pengaruhnya.
Huruf ‘r’ mewakili ‘respect’. Orang semacam Ester tidak boleh dicuekin. Saya setuju dengan apa yang dikatakan Asokha, “We may not understand the suffering voice of poor people but God hears it well.” Semut pun kalau terinjak akhirnya menggigit. Gigitannya jika dibiarkan, membuat gatal dan bengkak. Huruf ‘a’ merupakan singkatan dari ‘appreciate’. Suara sekecil apa pun dari kasta (kalau ada) serendah apa pun, hukumnya wajib didengar. Ernest Hemingway menyatakannya secara tepat, “When people talk, listen completely. Most people never listen.” Memang tidak mungkin seorang presiden bisa mengerjakan semua tugas, tetapi jajaran di bawahnya perlu tanggap. Jika semua keluhan rakyat harus didengar presiden, yang terjadi persis seperti film Bruce Almighty.
Saat diberi kesempatan untuk menjadi ‘Tuhan’ Bruce—yang diperankan Jim Carrey—justru membuat kekacauan alias kiamat yang datang lebih awal. Oleh sebab itu, sekali lagi, para pembantu presiden wajib berperan sebagai kepanjangan tangan Jokowi.
Huruf ‘s’ adalah kependekan dari ‘summary’. Apa sih inti dari surat keluhan Ester? Ketidakberdayaan orang kecil menghadapi raksasa yang tampaknya berlindung di balik benteng perundang-undangan yang dijaga oleh raksasa tuli. Dalam satu kalimat pendek, surat Ester itu berbunyi: “Bela saya!”
Huruf ‘a’ yang terakhir merupakan kunci dari semuanya. Jika tidak mengerti, ‘ask’ alias bertanya. Mengapa? “The most important thing in communication is to hear what isn’t being said,” ujar Peter Drucker, konsultan bisnis kondang dunia. Saya percaya, bagian ini tidak perlu ditanyakan ke Ester karena perkaranya sudah terang benderang. Persoalannya, Ester pasti kalah berperang jika tidak ada yang mau menolongnya. Akankah kasus Ester Ester yang lain terdengar dan tertangani dengan baik? Kita tunggu saja!
*Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa, berdomisili di ig @xavier_qp