Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Mengapa Diaspora Politik NU Harus Diakhiri?

Persebaran kader NU di luar PKB bisa disebut sebagai diaspora politik warga Nahdliyyin

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Mengapa Diaspora Politik NU Harus Diakhiri?
Istimewa
KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. 

Diaspora politik NU menjadi pintu gerbang kolonialisasi atas ideologi NU oleh ideologi berbagai partai politik. Membiarkan praktek diaspora politik ini terus-menerus bergulir, sama saja dengan menyumbat saluran konsolidasi suara politik kebangsaan NU. Sehingga mustahil menyebut NU memiliki ideologi kebangsaan, sementara saluran politiknya beragam. Bercampur baur dengan beragam warna lain.

Kelima, diaspora politik melahirkan hubungan yang hirarkis antara kiai-kiai struktural dan kiai-kiai kultural; bagaikan hubungan pusat dan pinggiran (centre-local relation). Semakin berada pada kepengurusan pusat maka semakin dekat dengan kekuasaan.

Ketimpangan distribusi modal sosial-politik ini membuat semakin jauh antara akses pengurus pusat dan daerah. Sehingga membuka kran afiliasi politik tidak seragam, sekalipun sama-sama ulama-kiai NU. Ketidakseragaman ini berdampak pada kelas sosial akar-rumput, yang melihat figur kiai mereka berbeda-beda.

Hubungan dengan model “pusat-pinggiran” semacam itu sangat rentan, terutama di sisi ketahanan politis dan kultural. Dari sisi politik, suara setiap elite dan warga Nahdliyyin mudah dipecah belah. Di sisi kultural, ideologi kebangsaan NU mudah disusupi kepentingan ideologis partai-partai lain.

Dengan mempertimbangkan lima kerentanan akibat praktek diaspora politik warga Nahdliyin tersebut, penulis cenderung menyuarakan segera mengakhirinya. Pilpres 2024 nanti harus menjadi momentum paling bergairah untuk menentukan arah suara Nahdhiyyin. Jangan sampai terulang lagi fenomena NU meradang, "mengemis", dan meminta jatah menteri yang tak kunjung diberikan, kecuali pada tengah-tengah perjalanan periode kekuasaan presiden terpilih. Sudah saatnya NU struktural dan kultural mengukuhkan soliditas dengan kembali ke Rumah Besar Politik NU/Nahdliyyin secara totalitas Yaitu " PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) ", Jika itu terlaksana bukan Hal yang mustahil NU/PKB akan menjadi kekuatan politik terbesar di Indonesia, bahkan menyalip PDIP di pemilu 2024. Wallahu a'lam bisshawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*

Berita Rekomendasi
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas