Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KH. Imam Jazuli: Pesantren Harus Membuldoser Mentalitas Kaum Terjajah
saya ingin mengajak untuk membuldoser mentalitas kaum terjajah (inlander mentality) yang sudah lama mencengkeram masyarakat.
Editor: Husein Sanusi
Without The Box Thinking: Pesantren Harus Membuldoser Mentalitas Kaum Terjajah
*Oleh: KH. Imam Jazuli
TRIBUNNEWS.COM - “Jika Bapak/Ibu merencanakan putra-putrinya bekerja setelah lulus SMK, SMA, atau Aliyah Bina Insan Mulia, saya mohon cabut berkasnya sekarang juga. Silakan dibawa pulang anaknya.”
Kalimat di atas meski terdengar kejam dan mungkin dianggap arogan bagi sebagian yang mendengarkannya sepotong, tapi saya terus mengulang-ngulangnya di setiap penerimaan santri baru.
Kenapa?
Sejak Pesantren Bina Insan Mulia berjalan dua tahun, penerimaan santri baru selalu diadakan di hotel. Kalau tidak di Aston Hotel ya di The Luxton Hotel & Convention. Agendanya berisi tes keagamaan, tes psikologi (psikotes), dan tes bakat minat.
Jika setiap penerimaan santri baru jumlahnya mencapai 500 santri, berarti yang hadir diperkirakan 1.000 sampai 1.500 orang. Karena per santri sedikitnya diantar oleh kedua orangtuanya.
Di hadapan santri dan wali santri yang sebanyak itu, saya ingin mengajak mereka untuk membuldoser mentalitas kaum terjajah (inlander mentality) yang sudah lama mencengkeram masyarakat lalu digantikan dengan mentalitas baru.
Ini supaya terjadi perubahan generasi, perubahan kualitas keluarga, dan perubahan kualitas bangsa.
Mata Rantai Kemunduran
Pasca-kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno kerap mewanti-wanti agar bangsa ini jangan sampai menjadi bangsa kelas kuli, kelas buruh, atau bangsa yang enak dijajah oleh bangsanya sendiri maupun bangsa lain.
Kita sepakat bahwa sebagai pekerjaan, menjadi buruh atau menjadi kuli itu tidak hina apalagi salah. Bahkan jika diniati karena Allah SWT untuk menghasilkan kebaikan, itu ibadah yang sangat mulia.
Tapi, menjadi bangsa kelas kuli atau kelas buruh tidak menyoal dari jenis pekerjaan itu, melainkan soal kualitas mental yang rendah dan lemah. Artinya, seorang kuli atau buruh belum tentu punya kualitas mental demikian. Atau juga seorang kepala daerah belum tentu tidak bermental rendah dan lemah. Kualitas mental adalah soal kualitas batin/rohani.
Bangsa kelas kuli atau kelas buruh seperti yang dikhawatirkan Presiden Soekarno lahir dari mentalitas kaum terjajah, yang asyik menzalimi diri sendiri dan tidak mau menolak kezaliman orang lain atas dirinya.
Mentalitas kaum terjajah punya dua ciri. Yang lemah akan menjadi minder, suka menzalimi diri sendiri, berpikir jangka pendek untuk dirinya karena merasa lemah, takut bercita-cita tinggi, menggantungkan nasib pada nasib baik atau keadaan, dan inisiatifnya lemah untuk melakukan perubahan pada dirinya.