Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pesantren Bukan Lembaga Pendidikan Pilihan Terakhir, Brandingnya Harus Dibentuk
Salah satu pertimbangan saya kenapa menggunakan hotel sebagai sarana adalah karena symbol of status
Editor: Husein Sanusi
Pesantren Bukan Lembaga Pendidikan Pilihan Terakhir, Brandingnya Harus Dibentuk
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA
TRIBUNNEWS.COM - Kalau Anda melihat sebuah mobil baru padahal barangnya belum ada di dealer, tetapi iklannya sudah menyebar di koran, televisi, fb, dan lain-lain, itulah yang disebut edukasi publik.
Mereka menggiring masyarakat untuk harus tahu lebih dulu. Setelah itu lama-lama akan mungkin suka. Dan kalau sudah suka, kemungkinannya akan beli. Kalau tidak bisa beli, minimalnya jadi bahan lamunan atau pembicaraan. Ini logikanya.
Bahkan untuk barang-barang yang sehari-hari dipakai masyarakat, misalnya rokok, gula, atau produk kecantikan, iklannya tetap jor-joran. Mereka ingin menyadarkan publik bahwa nama mereka perlu diingat selalu.
Mengamati realita hari ini dimana setiap orang sudah punya alat untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber, kesimpulan saya pesantren-pesantren pun perlu melakukan edukasi publik.
Menggunakan hotel untuk kegiatan pesantren, dari menerima santri baru, pertemuan alumni dan sampai pelatihan guru-guru pun hanyalah salah satu cara untuk melakukan edukasi publik itu. Intinya adalah pesantren perlu menyampaikan informasi penting kepada masyarakat terkait dengan agendanya, nilai-nilainya dan visinya ke depan.
Salah satu pertimbangan saya kenapa menggunakan hotel sebagai sarana adalah karena symbol of status yang dipahami oleh masyarakat kelas tertentu yang menjadi segmen Bina Insan Mulia.
Kita tidak bisa mengubah pandangan masyarakat mengenai bagaimana ‘haibah’ hotel secara materialism modern. Hotel memberi pesan elit, profesional, modern, gengsinya tinggi, sangat kota, dan seterusnya. Itulah yang disebut simbol status.
Kita sebagai pesantren tentu tidak mau mengikuti secara taklid (hanyut dan larut) dalam pandangan demikian. Sebagaimana strategi dakwah yang diajarkan Wali Songo bahwa untuk membelokkan gerakan hidup masyarakat, caranya adalah menyelami dulu, menaklukkan dulu, barulah mengisinya dengan nilai-nilai sesuai kita.
Edukasi Publik bagi Pesantren
Dari pengalaman tersebut selama bertahun-tahun, saya ingin berbagi di sini.
Pertama, dengan mengadakan ujian seleksi lebih awal dari sekolah-sekolah lain di luar pesantren, maka Bina Insan Mulia mendapatkan bukti seberapa nyata masyarakat kota menjadikan pesantren sebagai pilihan utama (prioritas) untuk pendidikan putra-putrinya.
Dulu, tidak sedikit masyarakat yang berpikir bahwa pesantren itu pilihan terakhir. Setelah tidak diterima di sekolah negeri, barulah terpikir untuk masuk pesantren. Pesantren ditempatkan di kasta pilihan yang paling bawah.