Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribunners
Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.


Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners / Citizen Journalism

Pentingnya Kekuasaan Politik di Tangan Santri dan Saatnya Kiai dan Pesantren Berpolitik

Tak bisa dipungkiri oleh Indonesia bahwa santri atau pesantren punya saham besar terhadap kemerdekaan Indonesia.

Editor: Husein Sanusi
zoom-in Pentingnya Kekuasaan Politik di Tangan Santri dan Saatnya Kiai dan Pesantren Berpolitik
Pesantren Bina Insan Mulia.
KH. Imam Jazuli 

Jadi, selama kekuasaan politik itu digunakan untuk menghentikan kezaliman, mengarahkan watak manusia melalui pendidikan, atau untuk menolong yang terzalimi, pasti hasilnya luar biasa bagi perubahan. Dan santri perlu berada di pusaran kekuatan ini meskipun tidak harus semua santri.

Kiss of Death untuk Para Kiai

Dulu, kita sering mendengar ucapan bahwa politik itu harus dijauhkan dari pesantren, kiai atau ulama di masyarakat. Kenapa? Alasannya karena politik itu kotor. Anehnya, kita juga percaya 100 persen terhadap ucapan itu tanpa merenunginya dan menelaah konsekuensinya.

Bahkan terasa ucapan itu seperti dimaksudkan untuk menghormati posisi pesantren, kiainya, dan ulama. Padahal, kalau melihat dampak dari kepercayaan kita terhadap ucapan itu, saya ingin menyebutnya dengan istilah kiss of death atau semacam ciuman maut. Kita dihibur habis-habisan padahal sejatinya akan dibunuh.

Politik memang kotor, tetapi kotornya politik bukan karena politiknya, melainkan karena ulah manusianya. Politik sebagai ilmu atau strategi tetap suci. Bukankah Allah pemilik semua ilmu yang ada di jagat ini? Allah memberikan ilmu itu kepada siapa yang menghendaki dan siapa yang dikehendaki oleh Allah.

Terlepas politik itu di dalamnya kotor atau tidak, tetapi dalam kehidupan demokrasi modern politiklah yang memegang kekuasaan. Ketika kekuasaan dipegang sekelompok orang, maka semua urusan tergantung mereka. Kekuasaan inilah yang mahal.

Pertanyaannya, bagaimana mungkin pesantren bisa berkontribusi dalam perubahan secara signifikan kalau tidak ada alumni pesantren yang menguasai ranah politik itu? Berjuang dengan cara berdakwah seperti sekarang ini memang baik, tapi akan lebih baik dan lebih powerful lagi apabila diperkuat dengan kekuasaan politik. Memang tidak semua santri harus ke sana. Tapi bukankah kita diharuskan berjihad dengan ber-shaf-shaf/barisan yang ter-manage?

Berita Rekomendasi

Kita tentu sudah paham bagaimana Nabi SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Secara akidah, hijrah adalah perintah Allah. Namun ketika perintah itu direalisasikan di bumi, maka diolah oleh Nabi SAW menjadi strategi perjuangan yang hari ini disebut strategi politik.

Nabi dan pengikutnya di Makkah tidak bisa bergerak karena kekuasaan politik di tangan lawan-lawannya sementara dua tokoh berpengaruh, yaitu Khadijah dan Abu Thalib telah pergi. Tokoh-tokoh besar kala itu menguasai peta politik/sosial. Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan lain-lain. Pintu negoisasi tertutup sehingga berbagai nasib buruk dialami umat Islam. Dari pengucilan, penghadangan, pengusiran, dan seterusnya.

Kenapa Allah SWT tidak langsung turun tangan untuk menyelesaikan persoalan kelakukan manusia yang menyakiti Nabi-Nya dan hamba kesayangan-Nya? Inilah pelajaran buat kita. Allah ingin mengajarkan bahwa sesoleh-solehnya pejuang kebenaran itu jika tidak punya kekuasaan politik, maka langkah kelompoknya terbatas, nasib kelompoknya akan ditentukan oleh pemegang kekuasaan, dan itu banyak menderitanya.

Nabi SAW dan umat Islam dididik oleh Allah untuk mendalami strategi politik dakwah selama 13 tahun di Makkah. Begitu datang ke Madinah, kompetensi Rasulullah SAW dan umat sudah canggih dalam urusan strategi politik sehingga dengan mudah umat Islam menguasai peta perebutan kekuasaan di masyarakat.

Hanya dalam waktu 10 tahun setelah hijrah, Nabi dan para sahabat telah menjadi tokoh besar di jazirah Arab. Surat ajakan untuk masuk Islam dan lobi kerjasama pun sudah dikirim ke negara-negara raksasa kala itu. Misalnya ke Raja Kisra.

Kita tahu bahwa saat Nabi dan rombongan datang, di Madinah sudah berkuasa kelompok-kelompok suku dari Yahudi dan Nasrani. Tidak mungkin Nabi SAW datang-datang menundukkan mereka dengan ayat al-Qur’an. Nabi dengan cepat memperkuat modal sosial sehingga posisinya di antara tokoh sangat kuat. Karena posisinya kuat, maka mereka menokohkan Nabi sebagai pemersatu.

Intinya, Sekolah Politik Bina Insan Mulia ingin mengajak masyarakat pesantren, para kiai, dan ulama untuk jangan lagi tertipu oleh ciuman maut dari orang-orang yang ingin mengeksploitasi dengan isme-isme di negeri ini.

Halaman
1234
Tribunners merupakan jurnalisme warga, dimana warga bisa mengirimkan hasil dari aktivitas jurnalistiknya ke Tribunnews, dengan mendaftar terlebih dahulu atau dikirim ke email redaksi@tribunnews.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas