Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Honoris Causa Pesantren, Kenapa Tidak?
Idham Chalid adalah santri yang mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Al-Azhar Kairo Tahun 1957.
Editor: Husein Sanusi
Tidak hanya pesantren, kerajaan dan kesultanan nusantara pun kerap memberikan gelar sebagai apresiasi di bidang tertentu. Pakoe Boewono XII memberikan gelar kehormatan Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) kepada Gus Dur. Beliau dinilai sebagai tokoh agama yang humanis dan punya kepedulian tinggi terhadap budaya daerah.
Apresiasi terhadap karya seseorang di berbagai bidang atau terhadap kebesaran kiprah seorang tokoh menjadi salah satu ciri ketinggian peradaban di bangsa itu. Coba kita lihat sejarah. Kenapa tokoh seperti Abu Nawas itu mendapatkan tempat yang begitu elegan di masa Harun Al-Rasyid? Itu merupakan bukti tingginya peradaban.
Negara-negara yang pernah tinggi peradabannya mempunyai bukti museum, karya para tokoh, bangunan yang bagus, dan seterusnya. Perbincangan manusia di berbagai tempat, dari warung kopi, masjid, gereja, gedung, sekolah, dan lain-lain adalah ide, konsep, dan inovasi. Maka sepertinya agak pas jika ada ungkapan yang mengatakan begini: “Orang kelas atas berbicara ide, orang kelas menengah berbicara peristiwa, dan orang kelas bawah berbicara tentang orang lain.”
Bangsa dengan peradaban rendah, boro-boro menghargai karya. Dikasih buku saja belum tentu dibaca. Diamanati untuk menjaga warisan karya masa lalu saja tidak terurus. Dikasih fasilitas pendidikan gratis pun belum tentu disambut optimal. Mereka berbicara soal kemewahan artis. Tentang bagaimana masuk surga tanpa ilmu, tanpa kerja, dan tanpa karya. Tentang kekayaan orang lain. Tentang bagaimana saling mengalahkan orang lain.
Tiga, sebagai motivasi bagi generasi santri berikutnya.
Motivasi ini bukan untuk yang bersangkutan hari ini. Semua santri sudah mengerti bahwa berkarya itu tujuannya untuk dunia akhirat. Sehingga mereka itu diberi gelar atau tidak, sebetulnya tidak begitu berpengaruh terhadap motivasinya.
Apalagi para santri itu mendapatkan contoh langsung dari para kiainya. Kiai menggunakan tanahnya, rumahnya, sawahnya dan apa yang dimiliki untuk para santri.
Zaman dulu, hampir tidak ada santri yang terkena charge (bayaran) pendidikan. Sekarang ini charge dibutuhkan untuk kepentingan santri langsung dan untuk kelangsungan pendidikan.
Motivasi itu dibutuhkan justru untuk para santri di generasi berikutnya. Jika mereka menyaksikan bahwa para pendahulunya telah mampu sampai pada prestasi tertentu, maka hati mereka akan menggerakkan pikiran dan raganya untuk mencapai yang sama atau yang melebihi.
Misalnya, setelah terbukti bahwa saudara Ubaydillah Anwar mampu eksis dalam pengembangan soft skills dan kecerdasan hati di industri, masyarakat profesional dan di pendidikan Indonesia, saya yakin nanti akan ada generasi santri berikut yang akan meniru langkahnya atau punya langkah lain yang lebih bagus atau yang lebih besar.
Kita tidak tahu bagaimana susahnya dulu menemukan metode membaca kitab kuning seperti yang sudah diajarkan di pesantren-pesantren hari ini. Awalnya itu tidak terbayangkan, bagaimana kalimat dalam bahasa Arab lalu dimaknai sekaligus ditentukan posisi tata bahasanya. Ini temuan keilmuan yang luar biasa. Begitu sudah ditemukan, semua menjadi mudah untuk dipelajari.
Seratus tahun lalu, mungkin hanya Gontor yang mengajarkan bahasa Arab dan Inggris dalam pesantren. Tapi begitu sudah ditemukan metodenya, polanya, dan caranya, sekarang ini dimana-mana sudah ada lembaga yang mengajarkan dua bahasa itu. Bahkan ada yang tiga bahasa atau empat bahasa sekaligus.
Itulah contoh dari bagaimana social learning bekerja. Social learning adalah bagaimana seseorang belajar dari orang lain lalu menerapkan ke dirinya. Social learning ini bekerja di tingkat pribadi, kelompok, umat atau bangsa. Riset-riset di pendidikan dan psikologi menemukan fakta bahwa social learning adalah cara belajar orang dewasa yang sangat efektif, bahkan lebih efektif dari class room learning untuk materi keterampilan.
Pendidikan Pesantren dan Soft Skills
Untuk mendapatkan hasil yang bagus pada semua pekerjaan di dunia ini, maka perlu penerapan hard skills dan soft skills. Ini berlaku pada pak sopir becak, dirut BUMN, dosen, atau guru, dan seterusnya. Mana yang hard skills dan mana yang soft skills?
Hard skill pada sopir angkot adalah kemampuannya dalam menjalankan angkot, paham aturan di jalan raya, paham memperbaiki angkot itu kalau rusak. Sedangkan soft skill-nya adalah kesungguhannya dalam menjalani profesi itu, kreativitasnya kalau sedang sepi, kemampuannya untuk menjaga pelanggan, dan semisalnya.
Hard skill seorang guru adalah memahami langkah-langkah mengajar dari mulai masuk kelas sampai selesai, memahami materi yang diajarkan, mampu membuat soal ujian, dan mampu membuat penilaian. Sedangkan soft skill-nya adalah cintanya pada profesi tersebut, keikhlasannya, kreativitasnya, dedikasinya, amanahnya, dan seterusnya.
Bahkan kalau boleh untuk sekadar menggambarkan, dalam shalat pun ada kegiatan yang bisa disebut sebagai hard skill dan soft skill. Hard skill-nya adalah kemampuan menerapkan prosedur fiqih dari mulai takbirotul ihrom sampai salam.
Sedangkan soft skill-nya adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan akhlak setelah shalat dan kemampuannya untuk menghadirkan Allah dalam hati (akidah), baik di dalam maupun di luar shalat.
Hard skills adalah keahlian teknis dan akademis. Sedangkan soft skills adalah kualitas seseorang dalam mengembangkan diri, menjalin hubungan dengan sesama, dan kepemimpinan. Misalnya, menjaga emosi, terus belajar, kerjasama, berkomunikasi, ketajaman tujuan, kreativitas, kesabaran, dan seterusnya.
Empat sifat wajib Rasul yang kita kenal, yaitu Sidik, Amanah, Tabligh, dan Fathonah masuk dalam soft skills utama (core skill) yang berlaku di seluruh dunia. Kunci sukses berkarier di bidang apapun, tidak mungkin meninggalkan salah satu dari empat itu.
Jika kedua keahlian tersebut sangat penting untuk mendapatkan hasil yang bagus, lalu mana yang sangat menentukan peranannya? Baik riset dan praktik membuktikan bahwa 70% kesuksesan pekerjaan dimainkan oleh soft skills seseorang. Walupun seseorang sudah ahli di bidang tertentu, tapi jika hati dan pikirannya error, misalnya dengki, stres, ogah-ogahan atau marah, sudah pasti hasilnya akan kurang bagus.
Mau shalat seribu rakaat pun, namun jika tidak didukung dengan ilmu untuk mengaktifkan hati dan pikiran agar menghasilkan kedekatan dan akhlak, tetap saja oleh al-Quran disebut pendusta agama. Meski demikian, mengerjakan shalat sesuai prosedur fiqih tetaplah wajib.
Pesantren sebenarnya gudangnya soft skills. Contoh yang sederhana adalah public speaking atau komunikasi publik Di luar pesantren, kegiatan itu berbayar tinggi. Apalagi jika yang menjadi mentornya artis atau orang terkenal, seperti Helmi Yahya, Tontowi Yahya, atau Najwa Shihab. Tapi di pesantren, kegiatan public speaking gratis dan boleh berlatih terus menerus. Hampir setiap pesantren hari ini punya program latihan pidato.
Cuma di sini yang perlu menjadi catatan adalah bahwa hampir seluruh kegiatan pengasahan soft skills di pesantren itu masih berjalan alami, alias belum tersentuh oleh konsep sains dan standar kompetensi profesional. Banyak santri yang dulu jago pidato tapi di luar berhenti. Banyak yang bagus leadership-nya namun di luar tidak demikian.
Kenapa? Jawabannya adalah pengetahuan. Dengan pengetahuan maka seseorang punya banyak pilihan. Tanpa pengetahuan, seorang anak petani hanya berani bercita-cita menjadi petani seperti orangtuanya. Tapi dengan pengetahuan, ia punya banyak pilihan.
Di sinilah pesantren butuh pengetahuan baru dari kegiatan soft skills yang sudah dijalani para santri supaya mereka punya banyak pilihan.
Without the BoX Thinking adalah rubrik khusus di tribunnews.com di kanal Tribunner. berisi artikel tentang respon pendidikan Islam, khususnya pesantren terhadap perubahan zaman dan paparan best practices sebagai bahan sharing dan learning di Pesantren Bina Insan Mulia. Seluruh artikel ditulis oleh KH. Imam Jazuli, Lc, MA dan akan segera diterbitkan dalam bentuk buku. Selamat membaca.
*Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*