Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Agen-agen Perubahan dari Pesantren Lahir dari Manajemen Kebaikan, Kinerja dan Totalitas Ikhlas
Banyak kasus membuktikan bahwa kumpulan orang-orang yang hebat tidak secara otomatis menghasilkan kinerja yang hebat jika pengelolaannya tidak baik.
Editor: Husein Sanusi
Banyak yang masih menafsirkan ikhlas itu lawan dari tidak dibayar, lalu dipraktikkan sebagai perbuatan yang dilakukan sekedarnya atau sampingan saja sehingga muncul istilah seikhlasnya. Padahal, ikhlas yang diajarkan Al-Quran dan yang dipraktikkan orang-orang sholeh adalah perbuatan yang dilakukan dengan totalitas hati yang didasari oleh perintah Allah atau hanya mengharap ridlo Allah sehingga hasilnya maksimal.
Urusan dibayar atau tidak dibayar, ini masuknya ke wilayah hubungan antarmanusia (mu’amalah bainan nas). Pada hubungan antarmanusia tentu variatif kondisinya. Ada yang harus dibayar dan ada yang tidak. Ada yang sebaiknya dibayar dan ada yang sebaiknya tidak.
Sementara ikhlas berada di wilayah hubungan antara kita dengan Allah SWT. Saking istimewanya itu ajaran ikhlas, sampai-sampai malaikat sendiri tidak diberi otoritas oleh Allah untuk menentukan apakah si A itu ikhlas atau tidak. Ikhlas adalah ibadah hati yang dampaknya ke perbuatan. Dengan hati yang total maka aksi seseorang menjadi optimal. “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian,” (HR. Muslim).
Artinya, pengelolaan HCM (human capital management) di pesantren perlu menerapkan konsep ikhlas menurut ajaran al-Quran (totalitas hati), bukan ikhlas yang pengertiannya menurut bahasa pergaulan kita yang ditafsirkan sebagai perbuatan yang tidak dibayar atau perbuatan yang dilakukan sekadarnya.
Sudah saatnya guru-guru di pesantren bergerak dengan target yang tinggi untuk menghasilkan kinerja lembaga yang bagus. Sudah saatnya perlakuan guru-guru di pesantren dibedakan untuk hal-hal yang harus dibedakan. Give the best for the best, berilah yang terbaik kepada mereka yang terbaik juga. Tentu dengan tetap menjaga nilai-nilai yang menjadi karakteristik pesantren sebagai lembaga pembinaan akhlak karimah, ilmu, dan penggemblengan bakat insani.
Manajemen Kebaikan dan Kinerja
Ketika saya masih aktif mengelola perusahaan dulu, sering ada kasus yang muncul di perusahaan, termasuk di perusahaan saya. Ternyata tidak semua kebaikan yang kita berikan kepada orang-orang kita, maksudnya kepada para pegawai, itu secara otomatis berdampak pada peningkatan produktivitas.
Artinya, kebaikan perusahaan tidak secara kausatif (sebab-akibat) melahirkan perbaikan kinerja. Bahkan ada hasil riset yang pernah saya baca di mana insentif perusahaan dapat berubah menjadi boomerang (senjata makan tuan). Ini juga bisa terjadi di lembaga pesantren atau dimana pun juga.
Kok bisa? Terus bagaimana penjelasannya? Kasus demikian ini jika kita kembalikan kapada petunjuk ajaran agama, langsung kita dapat temukan jawabannya. Islam mengajarkan bahwa kebaikan itu tidak cukup diberikan hanya karena punya semangat yang baik atau ingin berbuat baik.
Agar kebaikan itu membuahkan kebaikan yang banyak, diperlukan ilmu yang dapat membekali kita untuk melihat aspek lain. Di antaranya adalah bagaimana cara kebaikan itu kita sampaikan, dalam kondisi seperti apa, untuk siapa, berapa ukurannya, lalu dampak yang kita inginkan seperti apa, dan seterusnya. Paslah jika dikatakan bahwa Islam adalah agama ilmu.
Semua perintahnya terkait kehidupan dunia dan akhirat harus dijalankan dengan ilmu. Intinya, kebaikan itu perlu diberikan atas dasar iman dan dikelola dengan ilmu. Perpaduan antara iman dan ilmu itulah yang dapat membuahkan kebaikan berlipat ganda.
Belajar dari praktik manajemen di dunia, supaya kebaikan yang kita berikan itu membuahkan kinerja lembaga, ada beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan.
Pertama, kebaikan yang kita berikan itu harus dibarengi dengan penjelasan mengenai target pencapaian yang diinginkan. Atau dengan kata lain, perlu ada penjelasan mengenai kriteria sukses yang terukur. Misalnya, saya mentargetkan guru dan pembimbing untuk menghasilkan sukses di atas 50% bagi peserta Tahfidz Bima-Qu.
Kebaikan lembaga yang diberikan tanpa dibarengi dengan penjelasan mengenai target prestasi seringkali menjadi shodaqoh biasa. Kita semua tahu bahwa shodaqoh itu mendatangkan kebaikan berlipat ganda, tetapi untuk bisa menghasilkan kinerja organisasi, tentu tidak cukup diberikan begitu saja.
Kedua, kebaikan yang kita berikan juga perlu divariasikan caranya dan bentuknya. Ada yang perlu disampaikan secara terbuka dengan kreteria yang jelas supaya mendorong orang lain, tetapi perlu juga ada yang perlu disampaikan dengan cara tersembunyi dengan alasan-alasan yang sudah kita pikirkan.