Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Agen-agen Perubahan dari Pesantren Lahir dari Manajemen Kebaikan, Kinerja dan Totalitas Ikhlas
Banyak kasus membuktikan bahwa kumpulan orang-orang yang hebat tidak secara otomatis menghasilkan kinerja yang hebat jika pengelolaannya tidak baik.
Editor: Husein Sanusi
Salah dalam menerapkan cara dapat menjadi blunder yang justru tidak memotivasi. Pembagian beasiswa S1 & S2, pembagian mobil operasional, bantuan kepada santri-santri yang melanjutkan study ke luar negeri, atau bantuan pembelian kavling tanah untuk para asatidz kerap dilakukan secara terbuka dengan kriteria yang jelas.
Tujuannya adalah untuk memotivasi yang lain. Bahkan saya meminta Bagian Media untuk memviralkan di media social agar dipelajari oleh pesantren lain atau lembaga Islam lain. Dan setelah menjadi viral dimana-mana, banyak yang datang ke saya untuk sharing (berbagi pengalaman) mengenai pengelolaan guru (asatidz/asatidzat).
Tidak saja caranya yang perlu kita variasikan, bentuknya juga perlu dipadukan berupa materi dan non-materi, apalagi untuk orang pesantren. Kebaikan material saja seringkali malah kurang mendapatkan tanggapan dan pemaknaan positif sehingga perlu dibarangi dengan kebaikan non-material. Misalnya, diberi kesempatan untuk berbuat baik, diberi kesempatan untuk menjadi lebih mulia di mata manusia dan Allah, dan seterusnya.
Ketiga, kebaikan yang kita berikan pun perlu diikuti dengan pengawasan atau pendampingan jika yang kita harapkan adalah adalah kinerja yang lebih baik dan pahala. Kenapa diperlukan? Kinerja seseorang terkait langsung dengan keahlian dan kemauan dan keduanya seringkali membutuhkan pengawasan.
Meski tidak seluruhnya tetapi sebagian besar pekerjaan yang saya tugaskan dan delegasikan tetap ada pengontrolan, pengawasan, dan pendampingan. Kecuali untuk pekerjaan yang sifatnya rutin dan hasilnya sudah bisa diprediksi. Biasanya saya hanya butuh laporan. Dengan cara seperti inipun masih kebobolan terkadang. Misalnya seleksi khotib jumat yang meskipun sudah rutin, tapi pada kenyataannya tidak bisa dilepas total. Tetap perlu control melalui sistem.
Keempat, kebaikan yang kita berikan pun perlu dievaluasi, baik dari sisi kita maupun dari sisi orang yang menerima, dan dari sisi dampaknya bagi lembaga. Tanpa evaluasi, perbaikan kinerja sulit kita tingkatkan. Evaluasi gunanya bukan untuk menyalahkan kesalahan, tetapi lebih pada menemukan celah perbaikan (on-going improvement).
Konon, bangsa Jepang punya Keizen yang kalau diterjemahkan ke bahasa kita menjadi perbaikan terus menerus. Keizen inilah yang sangat besar sumbangannya bagi kemajuan mereka di bidang industry.
Tentu untuk mengevaluasi dibutuhkan standar penilaian. Sejak Pesantren Bina Insan Mulia berdiri, standar penilaian para guru dan pegawai telah ditetapkan dengan mengacu pada loyalitas, kejujuran, kepintaran, dan prestasi. Standar ini sangat membantu kegiatan evaluasi.
Jadi, karena pesantren adalah lembaga yang terus memperjuangkan perubahan masyarakat dan menjadi tumpuhan harapan bagi lahirnya agen-agen perubahan, maka sudah saatnya pesantren pun perlu menciptakan perubahan dalam mengelola asset insaninya (human capital).
*) Penulis adalah pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.