Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Agen-agen Perubahan dari Pesantren Lahir dari Manajemen Kebaikan, Kinerja dan Totalitas Ikhlas
Banyak kasus membuktikan bahwa kumpulan orang-orang yang hebat tidak secara otomatis menghasilkan kinerja yang hebat jika pengelolaannya tidak baik.
Editor: Husein Sanusi
Sebagai santri, mereka perlu mendapatkan pengetahuan, pengalaman, hikmah, keahlian yang terus bertambah. Karena itu, selain mereka aktif mengaji dengan saya, tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan bantuan dari pesantren untuk menyelesaikan kuliah tingkat S1 dan S2. Total sampai sekarang jumlah kader yang mendapatkan S1 dan S2 sebanyak 45 orang.
Tidak sampai di situ. Beberapa guru senior saya arahkan untuk berkiprah di luar pesantren, khususnya di Cirebon dan Jawa Barat dengan posisi yang bermacam-macam. Ada yang di lembaga RMI (Robithoh Ma’ahid al-Islamiyah-Asosiasi Pesantren) PWNU Jabar, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) PWNU Jabar MUI (Majlis Ulama Indonesia) Kabupaten Cirebon, PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), PAN (Partai Amanat Nasional), PDIP ( Partai Demokrasi Indonesia- Perjuangan), Komisaris di perusahaan dan lain-lain.
Dengan menerapkan tiga adonan di atas, harapan saya mereka memiliki banyak pilihan untuk berkembang dan mengembangkan para santri. Ada yang bertanya lagi ke saya, “Apakah Pak Kiai tidak khawatir mereka akan pindah ke tempat lain setelah mereka eksis di luar? Saya katakan bahwa justru saya lebih khawatir kalau mereka ikut saya tapi tidak berkembang.
Mengharapkan Perubahan tapi Tidak Berubah, Bagaimana Bisa?
Hampir semua pesantren bila ditanya apa cita-citanya yang paling tinggi, insya Allah jawabannya akan mengerucut ke satu gerakan, yaitu perubahan. Pesantren ingin mencetak agen-agen perubahan di masyarakat melalui alumninya. Sebagian pesantren terus menerus mendoktrin guru-guru dan santrinya untuk mengubah masyarakat dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Lama-lama membuat saya berpikir jika target tertinggi yang menjadi impian pesantren adalah perubahan, tapi kenapa sistem pengelolaan guru-guru dan pegawai yang merupakan asset utama masih banyak yang tidak berubah. Kalau begini, terus bagaimana?
Sistem pengelolaan guru-guru di pesantren masih banyak yang jauh dari terwujudnya harapan kesejahteraan yang normal. Karena manusia makhluk materil selain juga spiritual, maka tidak sedikit dari guru pesantren yang menjadikan ngajar di pesantren sebagai sambilan. Atau juga mencari pekerjaan lain untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Sistem pengelolaan guru-guru di pesantren juga masih banyak yang belum mampu membedakan siapa-siapa yang berkinerja tinggi sehingga harus mendapatkan balasan yang lebih tinggi di antara mereka yang berkinerja biasa-biasa dan rendah. Semua orang diperlakukan sama untuk hal-hal yang harus dibedakan. Seringkali hanya dibedakan dari aspek senioritas atau lamanya bekerja.
Sistem pengelolaan guru-guru di pesantren juga masih banyak yang belum mampu meningkatkan kualitas insani, seperti pendidikan, keahlian, dan kiprah. Masih banyak pesantren yang membiarkan guru-guru dan pegawai menikmati hidup yang statis secara ilmu, keahlian, dan kiprah.
Sebagai komitmen saya terhadap perubahan yang menjadi cita-cita pesantren, maka sejak Pesantren Bina Insan Mulia berdiri, saya telah menggandeng konsultan professional untuk membantu saya meningkatkan kapasitas human capital dari para guru dan pegawai.
Sebuah penelitian yang saya baca menemukan fakta bahwa otak manusia yang diberi banyak rangsangan (stimulant), ternyata berbeda jauh dengan otak yang krisis rangsangan. Ternyata tidak hanya otak manusia yang begitu, otak tikus pun berbeda ketika diberi banyak rangsangan.
Jika kita kembalikan ke keberadaan guru-guru dan pegawai di pesantren, bukankah rangsangan itu bisa kita hadirkan dalam bentuk yang bermacam-macam? Mulai dari perpustakaan, internet, sharing dengan pihak lain, training skill, training motivasi, penugasan, melanjutkan pendidikan, dan lain-lain. Rangsangan adalah syarat untuk menghasilkan perubahan.
Bisa kita bayangkan bahwa jika pengelolaan guru-guru dan pegawai di pesantern masih ala kadarnya dan tetap menolak perubahan di tengah dunia yang terus berubah, maka semakin sedikit generasi santri, terutama yang hebat-hebat, yang mau mengabdi di pesantren.
Kalau pun ada, itu sudah pilihan terakhir. Kenapa bisa terjadi? Karena kita hari ini belum berjuang total untuk menciptakan ‘brand’ dan kualitas yang bagus bagi profesi guru dan pegawai di pesantren. Di samping itu, mereka yang hari ini berkhidmah di pesantren menjadi tidak total, atau sebagai sambilan, atau juga masih mencari sampingan lain.
Saatnya pesantren di Indonesia memperbarui penafsiran dan penerapan konsep ikhlas yang merupakan perintah Allah yang paling mendasar dalam melakukan kebajikan. "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)," (QS. al-Bayyinah: 5).
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)