Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Doni Monardo Terkesan dengan Enggano yang Punya Potensi Kuliner hingga Wisata Bahari Luar Biasa
Enggano menawarkan wisata bahari yang luar biasa, karena memiliki dua karakter pantai sekaligus jenis ombak di kedua sisi pulaunya.
Editor: Wahyu Aji
Mereka menyediakan fasilitas memancing. Para nakhoda kapal motor sudah tahu spot-spot rumpon.
“Jadi, baru beberapa menit lempar umpan sudah strike. Wah, itu sensasional sekali. Nah, di Enggano harus dibikin seperti itu. Jangan sampai wisatawan mancing kecewa karena pulang tidak dapat ikan,” kata Doni.
Akan tetapi, jika memancing bukan aktivitas yang menarik, Anda tetap bisa menyewa kapal-kapal nelayan tadi untuk menyusuri tepian pantai menikmati hutan bakau serta keindahan alam Enggano lainnya.
Aneka satwa liar, terutama burung-burung di pepohonan, adalah pemandangan langka yang bisa Anda nikmati sepuasnya. Aneka suara burung di keheningan hutan merupakan orkestra alam yang menyehatkan jiwa.
Deru Surfing
Sekarang kita beralih ke sisi barat Enggano. Sebuah laut lepas dengan deburan ombak laksana surga bagi para peselancar.
Seperti diketahui, komunitas surfing dunia menjadikan laut Mentawai (Sumatera Barat) sebagai basis mereka berselancar. Boleh jadi, karena baru sedikit pecandu selancar yang tahu, bahwa Enggano juga menghidangkan ombak-ombak jangkung yang menantang.
Pendek kata, Enggano menawarkan wisata bahari yang luar biasa, karena memiliki dua karakter pantai sekaligus jenis ombak di kedua sisi pulaunya.
“Bayangan saya, wisata Enggano harus ditunjang kuliner seafood, seperti ikan, kepiting, lobster, udang, dan lain-lain. Semua ada di laut Enggano. Laut sekitar Enggano tidak boleh dieksploitasi besar-besaran. Peruntukannya hanya bagi jasa wisata kuliner Enggano dan konsumsi masyarakat sendiri,” kata Doni Monardo pula.
Doni juga menyebut dua jenis kuliner lain yang bisa menjadi ciri khas Enggano, yakni pisang dan emping melinjo.
“Ahli pengolah emping dan industri tepung pisang, wajib datang ke Enggano mentransfer ilmunya. Ini bisnis yang menarik. Saya dapat info, setidaknya ada 300 ton hasil pisang Enggano setiap minggu dikirim ke berbagai kota di Sumatera. Bahkan sampai ke Jakarta dan Malaysia,” kata Doni pula.
Doni menambahkan, emping termasuk yang banyak diminati masyarakat Indonesia. Itu artinya, jika kualitas pengolahan emping Enggano bisa ditingkatkan, bukan tidak mungkin bisa menembus pasar yang lebih luas.
“Bisa ke platform e-commerce. Nanti bisa kita jual di sana. Termasuk kanal ‘pasar UMKM’, dan ekspor. Tapi syaratnya kualitas harus memenuhi standar, hiegienis, serta packaging yang menarik. Jadi proses produksinya harus ketat agar menghasilkan emping berkualitas,” papar Doni, yang juga Komisaris PT Mind ID itu.
Selain emping, Enggano juga terkenal dengan pisang kepok-nya. Jika kita ke Enggano naik Susi Air, sebelum mendarat di bandara Desa Banjar Sari, kita akan disuguhi hamparan pemandangan kebun pisang yang maha luas.
Potensi pisang Enggano berlimpah. Dalam satu minggu bisa menghasilkan 300 ton. Harga per tandan di kisaran Rp 12.500 hingga Rp 25.000. Sementara, di Jakarta uang Rp 25.000 hanya dapat satu atau dua sisir pisang kepok. Pisang kepok ini juga sangat bagus untuk dijadikan tepung pisang sebagai bahan kue atau makanan bayi.
Siapa sangka, “raja pisang” dari Enggano ternyata pendatang dari Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Kisah turun-temurun menyebutkan, para pelaut tangguh Bugis itu sudah menginjakkan kaki di tanah Enggano lebih dari seabad yang lalu.
Awalnya, orang-orang Bugis tadi bertani dan melaut sebagai nelayan. Kurang lebih 10 – 15 tahun lalu, pelan-pelan konsentrasi mereka beralih ke sektor perkebunan, utamanya kebun pisang. Pisang kepok. Kini produksi pisang kepoknya berhasil menjadi komoditi unggulan Enggano.
Camat Enggano Susanto sempat menyambungkan teleponnya dengan seorang bernama Tantu asal Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Saya berbicara dalam bahasa Bugis yang kental. Tantu mengaku termasuk Bugis yang mengawali perkebunan pisang 12 tahun lalu. Tantu bersama keluarga sudah menjadi warga Enggano sejak 30 tahun lalu.
Atas potensi daerahnya, Camat Enggano Susanto menyampaikan keluhannya kepada Doni Monardo, ihwal sarana transportasi yang terbatas. “Dalam satu minggu hanya ada satu atau dua kapal dari Enggano ke Bengkulu dan sebaliknya,” keluhnya.
Kelapa Muda
Komoditi lain Enggano yang cukup berlimpah adalah kelapa. Yang menarik, di Enggano tidak ada yang “menjual” kelapa muda. Artinya, jika Anda menghendaki kelapa muda, masyarakat akan memetikkannya gratis. “Kami selama ini hanya menjual kelapa tua,” ujar Susanto yang sebelum menjabat camat adalah guru sekolah.
Doni Monardo sempat terheran-heran dengan fenomena itu. Apalagi, menurut Doni, kelapa muda Enggano adalah yang terenak yang pernah ia rasakan.
“Airnya sangat manis. Sebelum minum kelapa muda Enggano, saya mengira kelapa muda termanis airnya adalah kelapa muda Maluku. Tapi hari ini, di Enggano, saya nemu kelapa muda yang sama enaknya dengan kelapa muda Maluku,” ujar Doni sambil tertawa.
Doni bahkan berani mengatakan, kelapa muda Enggano bisa menembus pasar ibu kota Jakarta. Apalagi di bulan Ramadhan, saat permintaan kelapa muda naik drastis.
Ke depan, kelapa muda Enggano harus dipersiapkan untuk bisa menembus pasar yang lebih luas. “Persiapkan dari sekarang. Harus dihitung nilai ekonomisnya, termasuk biaya angkut ke Jakarta yang relatit dekat, hanya sekitar 500 km. Di Jakarta dan sekitarnya, harga per butir kelapa muda antara sepuluh ribu sampai lima belas ribu rupiah,” katanya.
Kepada Camat Susanto, Doni minta supaya ada semacam badan usaha desa atau badan usaha kecamatan. Mereka bertindak selaku pengepul kelapa muda. “Jadi selain untuk memenuhi kebutuhan pariwisata, kelapa muda Enggano bisa dijual ke daerah lain, terutama Jabotabek,” kata Doni.
Turis Air
Dalam kunjungan ke Enggano, Doni Monardo juga mengajak serta praktisi pariwisata dari Pacto.
“Saya juga mengajak pak Connie. Beliau dari Pacto," ujar Doni.
Pacto Destination Management Company (DMC) bukan nama baru di blantika pariwisata Indonesia. Namanya bahkan sudah mendunia. Selama ini Pacto dikenal banyak mengangkat destinasi pariwisata unik, yang mampu memberikan pengalaman definitif untuk menemukan keragaman budaya dan lanskap Indonesia yang menakjubkan.
Pacto memiliki cabang usaha di sejumlah daerah wisata, seperti Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. “Yang utama, kami berusaha hadir dengan standar pelayanan sama di seluruh negeri,” ujar Connie.
Dihubungi sepulang dari Enggano, Connie ternyata telah membuat sejumlah catatan. Beberapa point yang ia sampaikan antara lain, bahwa Enggano cocok untuk “turis air”. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Enggano, Connie langsung beraksi mengambil foto dari berbagai angle. “Jadi untuk turis air, sudah siap. Ada dua desa yang sangat bagus untuk scuba,” ujarnya.
Perahu yang ada juga dinilai bagus dan layak untuk turis. Meski begitu ia setuju usulan Doni Monardo, untuk memberi atap. “Kalau soal life vest, kemarin juga saya lihat sudah tersedia. Saya lihat ada life vest Kemenhub. Itu syarat keselamatan, maka harus ada, dan bukan soal sulit. Untuk penyediaan life vest, kita bekerjasama dengan KSDA (Konservasi Sumber Daya Alam) dan Pemda serta semua yang terlibat,” papar Connie.
Hal lain yang menjadi perhatian Connie adalah aspek kerajinan. Di Enggano, Connie menemukan salah satu kerajinan tangan (handicraft) yang unik, yaitu tas dari sabut kelapa. “Bentuknya unik, tapi fungsinya belum,” begitu Conni memberi ulasan.
Karena itu, Connie mengundang perajin tas dari sabut kelapa untuk hadir di pameran kerajinan terbesar di Indonesia, Inacraft. “Pas kami ke sana, Inacraft baru saja selesai. Jadi tahun depan, kami sudah janji akan datangkan ke Inacraft, supaya ada wawasan tentang desain serta mendapat gambaran bagaimana usaha kerajinan yang sudah sangat berkembang di daerah-daerah lain,” pungkas Connie.
Ikuti terus catatan perjalanan Enggano, karena masih melimpah kisah cerita lainnya yang menarik disimak.
Tabik. (*)
Egy Massadiah, jurnalis senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”