Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Sandyakalaning Firli Bahuri
Firli Bahuri yang kontroversial itu mungkin kini lebih banyak menatap senja yang indah (dan suci) dalam mengisi hari-harinya.
Editor: Hasanudin Aco
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
TRIBUNNEWS.COM - Firli Bahuri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kontroversial itu mungkin kini lebih banyak menatap senja yang indah (dan suci) dalam mengisi hari-harinya.
Selain karena usianya yang memang tak muda lagi, 59 tahun, bahkan dapat dikatakan sudah memasuki senja kala atau "sandyakalaning", masa jabatan Firli di KPK juga tak akan lama lagi.
Ia akan pensiun pada 2024 setelah dapat "bonus" 1 tahun dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahkan bisa lebih cepat lagi bila perkara dugaan pemerasan yang kini mengarah kepadanya terbukti secara hukum.
Diketahui, poin keempat dari 11 syarat menjadi pimpinan KPK adalah "Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman paling sedikit 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan."
Demikianlah amanat Pasal 29 Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 yang diperbarui dengan UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK.
Meski begitu, sejauh ini yang terpilih menjadi pimpinan KPK mayoritas adalah yang telah berpengalaman paling sedikit 15 tahun di bidang hukum.
Atau dengan kata lain aparat penegak hukum, yakni polisi, jaksa atau advokat (pengacara).Termasuk Ketua KPK.
Sejak berdiri tahun 2003 hingga kini, KPK pernah punya ketua dan pelaksana tugas (plt) ketua berlatar belakang polisi, jaksa dan advokat.
Sebut saja Taufiequrrachman Ruki, polisi, Ketua KPK periode 2003-2007; Antasari Azhar, jaksa, Ketua KPK periode 2007-2009; Tumpak Hatorangan Panggabean, jaksa, Plt Ketua KPK periode 2009-2010; M Busyro Muqoddas, advokat, Plt Ketua KPK periode 2010-2011; Abraham Samad, advokat, Ketua KPK periode 2011-2015: Taufiequrrachman Ruki, polisi, Plt Ketua KPK periode Februari 2015-Desember 2015; Agus Rahardjo, advokat, Ketua KPK periode 2015-2019; dan Firli Bahuri, polisi, Ketua KPK periode 2019-2024.
Plt-Plt Ketua KPK muncul ketika Ketua KPK sebelumnya bermasalah secara hukum sehingga harus "out" dari KPK.
Sebut saja Antasari Azhar, yang terlibat kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen.
Terlepas kasus ini bertendensi kriminalisasi atau bukan, yang jelas Antasari sudah divonis bersalah oleh pengadilan dan sudah selesai menjalani masa hukumannya.
Begitu pun Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yang terdepak dari kursi Ketua KPK dan Wakil Ketua KPK. Samad menjadi tersangka kasus pemalsuan data kependudukan di Sulawesi Selatan tahun 2007.
Adapun Bambang dijerat dengan kasus dugaan mempengaruhi saksi dalam persidangan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di MK pada 2010.
Presiden Joko Widodo akhirnya menghentikan perkara yang menjerat kedua pimpinan KPK tersebut melalui metode deponering yang diterbitkan Jaksa Agung saat itu M Prasetyo.
Deponering adalah wewenang Jaksa Agung untuk mengesampingkan proses hukum suatu perkara pidana demi kepentingan umum.
Nah, kini muncul kasus pemerasan terhadap Syahrul Yasin Limpo yang baru saja mengundurkan diri dari jabatan Menteri Pertanian yang menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK.
Kasus ini diduga melibatkan pimpinan KPK, dalam hal ini Ketua KPK Firli Bahuri. Polda Metro Jaya pun telah menaikkan status perkara ini dari penyelidikan ke penyidikan. Artinya, sudah ada tersangkanya dan tinggal diumumkan.
Apakah Firli Bahuri dan/atau pimpinan KPK lainnya akan menjadi tersangka?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, foto pertemuan Syahrul Yasin Limpo dengan Firli Bahuri di sebuah lapangan bulu tangkis di kawasan Mangga Besar, Jakarta Pusat, viral di media sosial dan media massa.
Foto inilah yang akan didalami Polda Metro Jaya dalam mengusut kasus dugaan pemerasan ini.
Jika nanti menjadi tersangka, maka Firli yang pangkat terakhirnya Komisaris Jenderal dan jabatan terakhir di Polri adalah Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan pun harus hengkang dari kursi panasnya di KPK. Artinya, saat ini adalah 'sandyakalaning" atau senja kalanya Firli Bahuri.
Sebelum ini, sudah sering Firli Bahuri dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Namun karena Dewas tak mungkin "jeruk makan jeruk", Firli pun selalu lolos. Sanksi memang pernah dijatuhkan Dewas untuk Firli, tapi sangat ringan, yakni teguran tertulis.
Sekali lagi, Firli bersama pimpinan KPK periode ini lainnya mendapat "bonus" setelah MK memutuskan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun dari sebelumnya empat tahun. Gugatan masa jabatan pimpinan KPK ini diajukan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
Tidak hanya Firli, pimpinan KPK periode ini lainnya juga bermasalah. Sebut saja Lili Pintauli Siregar yang harus mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK karena diduga menerima gratifikasi fasilitas menonton Moto GP Mandalika tahun lalu.
Johanis Tanak, yang baru saja masuk KPK menggantikan Lili Pintauli Siregar juga banyak dilaporkan ke Dewas KPK. Lili berlatar advokat, sedangkan Johanis berlatar jaksa.
Sebelumnya, dua Wakil Ketua KPK, yakni Bibit Samad Rianto yang berlatar polisi, dan Chandra Martha Hamzah yang berlatar advokat juga pernah ditahan polisi yang dilatari kasus "cicak versus buaya".
Saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah dituding memeras seorang tersangka, Anggoro Widjojo, sebesar Rp5,1 miliar. Namun, akhirnya Basrief Arief selaku Jaksa Agung saat itu mendeponir perkara tersebut setelah terungkap adanya rekaman merekayasa kasus tersebut.
Mengapa para pimpinan KPK yang berlatar polisi, jaksa dan advokat, yang notabene aparat penegak hukum, banyak terlibat kasus hukum?
Pertama, karena kursi pimpinan KPK adalah kursi panas yang rawan kriminalisasi dan serangan balik dari koruptor.
Namun, serawan apa pun, ketika tidak ada fakta hukumnya, maka upaya kriminalisasi itu tak akan berhasil, karena tidak ada "entry point" atau titik masuknya. Namun terkadang fakta hukum pun bisa direkayasa, termasuk mungkin dalam kasus Antasari Azhar.
Kedua, justru karena para pimpinan KPK itu paham hukum maka mereka bisa mengakali celah-celahnya meskipun dengan menyerempet-nyerempet bahaya atau 'vivere pericoloso'.
Namun seperti pepatah, "Sepandai-pandai tupai melompat pasti akan kawal juga", mereka pun ada yang terpeleset, tergelincir, bahkan terjerembab.
Demikianlah. Firli Bahuri pun sedang menatap indah (dan suci)-nya senja.