Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mengkritisi Tulisan Imam Jazuli soal Pidato Rais 'Am PBNU Kiai Miftahul Akhyar
Tulisan dari sosok yang dikenal kiai muda asal Cirebon itu sama sekali tak menunjukkan sebagai orang yang mendalam secara keilmuan.
Editor: Dewi Agustina
Oleh: Muhammad Arsyad
MEMBACA tulisan "Rapor Merah Pidato Rais 'Am PBNU Kiai Miftahul Akhyar" yang ditulis Imam Jazuli baru-baru ini, penting sekali untuk dikritisi karena di dalamnya banyak kelemahan.
Tulisan dari sosok yang dikenal kiai muda asal Cirebon itu sama sekali tak menunjukkan sebagai orang yang mendalam secara keilmuan sekaligus matang dalam akhlaknya.
Kala membuat catatan itu, Imam Jazuli tampak diliputi rasa pertentangan sehingga cenderung membabi buta memaparkan, bahkan sangat emosional.
Sebenarnya sah-sah saja tulisan yang berisi kritik dibuat sangat tajam.
Sayang, karya Imam Jazuli itu seolah sekadar obrolan kosong pinggir jalan yang minim dukungan data dan fakta.
Selama ini pun, publik sebenarnya sudah banyak tahu dengan karakter Imam Jazuli.
Namun kali ini yang lebih memprihatinkan, tulisannya menabrak nilai-nilai luhur etika dan akhlak yang selama ini diajarkan di pesantren.
Ironis memang karena dia juga dibesarkan pesantren, bahkan kini juga mengelola pesantren.
Sinyalemennya bahwa Rais Aam KH Miftahul Akhyar mengemis-ngemis pada oligarki kekuasaan dan potret mentalitas manusia yang lebih mencari jatah daripada perjuangan dengan keringat serta darah sendiri, jelaslah tidak berdasar.
Bahkan pernyataannya bahwa jajaran tanfzidiah PBNU bermuka dua pun sungguh tuduhan yang asal-asalan.
Tulisan atau pernyataan tanpa dukungan fakta ini tentu tidak etis untuk disebarluaskan.
Dari sini jelas, Imam Jazuli sejatinya telah suul adab karena telah memberikan komentar secara serampangan atas pidato KH Miftahul Akhyar.
Imam Jazuli selalu mengidentikkan sebagai tokoh NU.
Namun apakah layak, seorang yang mengaku NU namun justru merendahkan marwah rais aamnya sendiri?
Bukankah itu bagian dari upaya merusak organisasi dari dalam?
Bagi saya, dari cara berpikirnya itu, Imam Jazuli sudah tidak lagi bisa disebut sebagai tokoh atau ulama panutan bagi kalangan nahdliyin, khususnya di wilayah Cirebon.
Sebab caranya melakukan kritik terhadap PBNU baik secara organisasi atau personalnya sering mengabaikan batas-batas kepatutan.
Kritikannya selalu dikendalikan oleh motif menggiring opini yang bernuansa politis dan ingin meraih popularitas pribadi semata.
Bagi kader NU khususnya, membaca tulisannya bukan mendapatkan perspektif baru yang konstruktif.
Ini lantaran dia selalu mencibir dengan pikiran yang keruh sekaligus menyelipkan secara diksi kasar.
Bahkan yang ironi, tulisannya dijadikan sebagai ajang untuk target sangat pendek, yakni kampanye partai politik, dalam hal ini PKB.
Cara berpikirnya ini tentu patut disesalkan.
Imam Jazuli hanya ingin agar suaranya terdongkrak walau harus dengan jalan yang serampangan atau tidak konstruktif.
Bagi saya, model pelemahan marwah PBNU dengan berbalut kritikan ini adalah persoalan serius yang tidak bisa diabaikan.
Saya memahami ini seperti virus di dalam tubuh NU yang jika dibiarkan akan menjadi penyakit yang membahayakan.
Kalangan NU di Kabupaten Cirebon khususnya harus bersikap dan membuat tindakan taktis.
Saya melihat Imam Jazuli sedang mengalami fase sindrom ketokohan sehingga tampak selalu ingin mencari lawan tanding yang besar.
Beruntung, PBNU sendiri tampak tidak berminat merespons opini-opini yang dia lancarkan lewat berbagai jaringan medianya.
Saya optimistis PBNU tidak melihat Imam Jazuli sebagai batu sandungan.
Dan menurut saya, PBNU hari ini sudah benar di jalurnya karena terus fokus untuk mendampingi umat.
Imam Jazuli bukanlah lawan orang-orang di PBNU.
Maka apa yang hari ini dilakukan oleh PBNU sudah sesuai dengan mandat khittah NU sebagai organisasi sosial keagamaan.
Ada banyak tugas besar yang menjadi tantangan NU baik sosial, moral, budaya, kesehatan, dan ekonomi.
Apalagi, Indonesia pada 2024 mendatang akan kembali mengadakan perhelatan besar pesta demokrasi.
Itu semua adalah persoalan kompleks yang tidak bisa disederhanakan begitu saja sebagaimana disampaikan oleh Imam Jazuli.
Semua harus dipikirkan matang-matang dan tidak bisa dipersempit bahkan secara konyol dengan mengatakan solusinya adalah warga NU seluruhnya untuk ikut PKB.
Kenapa tidak harus PKB? Ya karena PKB ternyata bukan partai yang mayoritas dipilih warga NU sebagaimana tergambar dari survei LSI Denny JA pada Agustus 2023.
Di mana dari survei itu terungkap bahwa persentase warga NU dari total penduduk muslim di Indonesia adalah sebesar 56,9 persen.
Dari jumlah tersebut yang memilih PKB hanya 11,6% saja.
Bahkan lebih jauh saya menilai manuver-manuver yang dilakukan Imam Jazuli belakangan ini tak mampu membesarkan PKB.
Malah sebaliknya perlahan membongkar watak bobrok sejumlah elite partai.
Jelas sekali Imam Jazuli sangat lemah dalam penulisan dan otomatis isinya juga sangat diragukan.
Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa Imam Jazuli adalah orang yang belum siap setiap saat untuk ikut di percaturan dinamika pemikiran sosial keagamaan dan politik.
Cara-cara kritik saatnya untuk disampaikan secara tepat dan santun.
Para kader muda NU harus berbenah dan melangkah dengan cara-cara sebagaimana telah diuswahkan oleh ulama NU sepuh yang tidak diragukan kemuliaan akhlaknya. (*)
*) Penulis adalah Alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri dan Alumnus Universitas Paramadina Jakarta