Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Hasto Kristiyanto, Politik Rasa, dan Jokowi yang Berubah
Hasto Kristiyanto membuat catatan yang menggambarkan kesedihan dan luka hati jajaran PDI Perjuangan, ditinggal Jokowi dan keluarga.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Hasto diminta Megawati untuk benar-benar mencurahkan secara total waktunya, guna menjalankan roda dan mesin organisasi.
Ketika Jokowi menang Pilpres 2014, Hasto Kristiyanto termasuk tokoh penting tim transisi. Ia bisa saja mendapatkan jabatan mentereng di pemerintahan.
Tapi itu tak terjadi. Hasto memilih bersetia dengan keputusan Megawati Soekarnoputri, yang juga tokoh paling sentral dan pemegang mandat terbesar partai.
Catatan tentang spiritualitas, moralitas, kebenaran, dan kesetiaan, sepertinya jadi rangkaian diksi yang ingin mempertegas sikap kekinian PDI Perjuangan terhadap Jokowi.
Partai mungkin sudah tidak bisa berharap apa-apa, atau melakukan sesuatu untuk mengubah jalan politik yang ditempuh Jokowi dan keluarganya.
Keputusan “cawe-cawe” Jokowi terkait pencapresan/pencawapresan Prabowo-Subianto-Gibran Rakabuming, sudah jadi realitas politik.
Di poin terakhir, Hasto Kristiyanto menulis; “…semoga awan gelap demokrasi segera berlalu, dan rakyat Indonesia sudah paham siapa meninggalkan siapa demi ambisi kekuasan”.
Hasto mengespresikan perasaan politik dan politik perasaan hari-hari ini di kalangan PDI Perjuangan. Perasaan terhadap perkembangan politik yang juga mengguncang pranata politik nasional.
Lantas apakah jalan politik yang ditempuh Jokowi salah? Orang bisa berdebat kusir tentang ini. Jokowi mungkin punya visi dan misi terkait “cawe-cawenya”.
Masih ada orang yang percaya, Jokowi sedang memainkan politik tingkat dewa, untuk memastikan pemerintahan berikutnya menjamin keberlanjutan kisah suksesnya memimpin Indonesia.
Ia harus benar-benar memastikan itu, dan berada dalam pusaran utama pengendali transisi politik, dengan segala cara.
Jokowi selalu menepis keterlibatannya dalam pencapresan Prabowo-Gibran. Kalimat saktinya adalah ‘copras-capres’ adalah urusan ketua parpol koalisi.
Politik memang tidak selalu bersifat material. Dalam politik, bukti fisik atau material tidak selalu diperlukan.
Karena itu soal Jokowi terlibat atau tidak, menjadi tak penting lagi ketika sudah jadi realitas politik.