Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Membongkar Kedok Propaganda Rusia di Ukraina
Abad ke-21 mengenal propaganda sebagai Fake News atau berita palsu. Istilah ini populer selama Pilpres Amerika tahun 2016
Editor: Eko Sutriyanto
Oleh : Dr. Algooth Putranto *)
SEJARAH mencatat, pemerintah di seluruh dunia dalam berbagai kondisi sangat bergantung pada propaganda untuk membujuk masyarakat tanpa memedulikan kebenaran nilai atau fakta. Bisa dikatakan propaganda sama tuanya dengan sejarah pemerintahan.
Propaganda berasal dari bahasa Latin, propagare yang berarti 'mengembangkan' atau 'memekarkan'. Diksi propaganda berasal dari organisasi Congregatio de Propaganda Fide yang dibentuk Paus Gregorius XV pada 1622.
Organisasi tersebut ditujukan mengembangkan agama Katolik Roma di Italia maupun di negara lain. Jadi sudah jelas propaganda adalah komunikasi massa yang digunakan individu ataupun kelompok untuk menyebarluaskan suatu keyakinan atau doktrin.
Abad ke-21 mengenal propaganda sebagai Fake News atau berita palsu. Istilah ini populer selama Pilpres Amerika tahun 2016. Indonesia? Tak berbeda jauh.
Saat itu ada Pilkada DKI Jakarta yang kemudian memuncak di Pilpres 2019, kita terpaksa berjibaku dengan banjir fake news yang imbasnya masih terasa hingga saat ini.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-666: Serangan Balasan Gagal, Inggris Sebut Kyiv Pilih Defensif
Fake News adalah masalah terbesar bagi esensi jurnalisme yakni verifikasi informasi. Mencari dan menemukan sejumlah saksi, menyingkap sebanyak mungkin fakta. Hal ini yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Konflik Ukraina yang meletup sejak aneksasi wilayah Krimea pada 2014 hingga upaya invasi ke Kiev pada 2022 tidak lepas dari fake news yang disebarkan Rusia tentang upaya melindungi orang-orang Ukraina yang merupakan penutur bahasa Rusia dari kelompok fasis serupa NAZI Jerman di masa Adolf Hitler.
Sebuah propaganda meski dunia tahu Rusia yang dipimpin Presiden Vladimir Putin secara sengaja melanggar Memorandum Budapes 1994 mengenai kedaulatan dan keutuhan wilayah Ukraina yang telah ditandatangani Rusia.
Menariknya tindakan aneksasi Krimea sebetulnya juga melanggar Konstitusi Rusia tahun 2001, hal yang kemudian melahirkan berbagai utak atik kebijakan ala Putin yang oleh oposisi Rusia, mantan grand master catur Garry Kasparov sebagai tindakan pemerintahan NAZI Jerman terhadap Austria setelah Olimpiade 1936 di Berlin dan sebelum Perang Dunia 2.
Kecaman dari berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia jelas ditujukan kepada Rusia yang memilih bergeming bahkan pada 2022 melakukan invasi lebih besar ditujukan ke Ibukota Kiev. Sebuah tindakan yang mengubah geopolitik pasca bencana flu COVID-19.
Menggunakan narasi propaganda ‘upaya melawan NAZI (de-NAZI-fikasi)’ dan melindungi penutur bahasa Rusia, Putin berusaha menjustifikasi tindakan invasi. Indonesia yang didominasi masyarakat berpendidikan rendah-menengah memiliki tingkat literasi rendah dengan mudah termakan propaganda tersebut.
Sementara Ukraina, meski secara kesejarahan sangat berjasa bagi pengakuan kedaulatan Indonesia di dunia internasional, harus diakui tidak cukup memberikan perhatian untuk memperkenalkan diri sebagai sahabat bagi negara terbesar di wilayah Asia Tenggara.
Kondisi ini berkelindan dengan kenyataan bahwa media dalam negeri Indonesia setelah berjuang dari gempuran flu COVID-19 terpaksa menempatkan esensi jurnalisme yakni verifikasi sebagai barang mewah. Minim media di Indonesia yang turun langsung meliput konflik di Ukraina.
Tidak bisa dibantah, kondisi ini menyebabkan propaganda Rusia tidak disaring oleh proses verifikasi. Sebaliknya, propaganda Rusia, karena cenderung memuaskan audiens justru menjadi produk yang dikapitalisasi oleh mayoritas media di Indonesia.