Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Barat Kalah di Ukraina dan Prospek Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina menunjukkan ketidakmampuan barat memenangkan pertempuran. Ukraina sebagai proksi NATO bertahan karena Rusia kini lebih defensif.
Editor: Setya Krisna Sumarga
![Barat Kalah di Ukraina dan Prospek Perang Rusia-Ukraina](https://asset-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/melihat-tentara-ukraina-pertahankan-kota-bakhmut_20230309_103429.jpg)
Dalam sebuah opini untuk majalah L’Obs Prancis pada Selasa (30/1/2024), Borrell mendesak para pemimpin Uni Eropa menolak godaan perdamaian dengan Rusia.
“Gagasan-gagasan ini salah pada 2022, dan tetap salah hingga saat ini,” tulisnya. Tidak jelas seruan perdamaian mana yang dimaksud Borrell.
Di UE, Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban terus-menerus menyerukan penyelesaian melalui perundingan, dengan alasan pasukan Kiev tidak dapat meraih kemenangan militer.
Deretan sanksi bertubi-tubi UE terhadap Moskow lebih merugikan perekonomian UE daripada merugikan Rusia.
Borrell, di sisi lain, mengklaim sanksi telah melemahkan mesin perang Rusia, meskipun ia mengakui sanksi tersebut sebagian besar telah gagal mencapai tujuan mereka.
Sikap Borrell ini memperlihatkan tekad barat untuk memperpanjang konflik, dan tetap menjadikan Ukraina sebagai proksi mereka melawan Rusia.
NATO masih bertahan pada agenda memperluas pengaruh dan kekuatannya ke timur Eropa, dan berusaha hadir persis di depan Moskow.
Jika sikap ini tidak berubah, maka Moskow pun pasti tidak akan mengubah keputusan politik mereka menduduki sebagian wilayah Ukraina.
Sebab satu di antara tujuan operasi militer khusus ke Ukraina adalah mendemiliterisasi Ukraina, sekaligus menghancurkan kekuatan neo-Nazi yang mendorong permusuhan Ukraina dengan Rusia.
Penguasaan sebagian wilayah Ukraina timur, termasuk mendukung bergabungnya Donbass ke Federasi Rusia adalah cara Moskow menahan ekspansi NATO ke timur.
Ini langkah masuk akal mengingat NATO sebelumnya terikat komitmen untuk tidak memperluas kekuatan ke timur pasca-runtuhnya Soviet.
Ketika NATO berusaha menarik Ukraina, maka Rusia menganggap NATO telah melintasi garis merah, dan itu sudah diingatkan sejak 2014 ketika terjadi Revolusi Maidan.
Revolusi Maidan adalah puncak dari upaya Eropa, NATO, dan terutama AS untuk meruntuhkan hubungan Kiev dengan Moskow.
Setelah itu, kelompok paramiliter neo-Nazi Ukraina dan pasukan reguler Ukraina menghadapi perlawanan rakyat Donbass secara intensif.
![Baca WhatsApp Tribunnews](https://asset-1.tstatic.net/img/wa_channel.png)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.