Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Barat Kalah di Ukraina dan Prospek Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina menunjukkan ketidakmampuan barat memenangkan pertempuran. Ukraina sebagai proksi NATO bertahan karena Rusia kini lebih defensif.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Masyarakat Donbass mayoritas lebih dekat orientasinya ke Rusia, dan sebagian besar mereka penutur asli bahasa Rusia.
Persekusi Kiev terhadap Donbass berlangsung bertahun-tahun, hingga akhirnya pada awal 2022, pasukan Rusia menggelar serangan darat dan udara ke Ukraina.
Konflik Ukraina adalah perang proksi antara Rusia melawan kekuatan barat, yang berusaha mencegah kebangkitan kembali ekonomi dan militer Rusia.
Tokoh-tokoh penganjur perang di Washington, dan juga figur seperti Joseph Borrell di Uni Eropa memperlihatkan wajah-wajah imperialis sejati.
Presiden Rusia Vladimir Putin sangat cermat membaca hal ini, dan lewat berbagai cara, Putin memberikan perlawanan luar biasa.
Meski ditekan sanksi bertubi-tubi, pengaruh Rusia justru semakin kuat di Timur Tengah dan Afrika, dua kawasan yang selama ini dikontrol barat.
Bagi Putin, dunia tidak boleh lagi unipolar, yang sepenuhnya dikuasai dan dikontrol kekuatan imperialis barat yang dipimpin AS.
Lewat BRICS, Rusia bersama negara-negara besar seperti China, India, Afrika Selatan, dan Brazil di Amerika Selatan, membentuk poros ekonomi baru.
Poros ini sangat diminati banyak negara, termasuk Arab Saudi dan Mesir, dua kekuatan signifikan di Timteng dan Afrika Utara.
Membaca peta politik seperti ini, maka peperangan di Ukraina dipastikan akan berlangsung lama, berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi global.
Sementara ini kekuatan barat secara signifikan telah kalah di Ukraina, mengingat tidak ada sedikitpun kemajuan dari perlawanan Ukraina yang mereka dukung habis-habisan.
Krisis internal di Ukraina, rivalitas antara Presiden Volodymir Zelensky dan pemimpin militer Jenderal Valery Zalushny memberi warna lain.
Ketegangan di antara dua tokoh berpengaruh itu menunjukkan ketidakberesan Ukraina secara domestik, menghadapi dampak perang melawan Rusia.
Kemerosotan moral rakyat Ukraina juga berpengaruh banyak. Ribuan tentara yang dikirimkan ke garis depan, kehilangan nyawa karena minimnya dukungan logistic dan peralatan militer.
Rekrutmen personal baru berlangsung serampangan, karena banyak penduduk Ukraina yang sehat dan cukup umur, memilih mengungsi ke luar negeri.
Di sejumlah wilayah garis depan, bahkan tentara Ukraina yang dikirimkan langsung dihancurkan dalam hitungan jam.
Mereka ibarat dikirim masuk ke mesin penggiling daging, mengingat pasukan Rusia begitu mudah menghancurkan mereka.
Jika tak ada perubahan sikap dari elite Ukraina, para pemimpin Uni Eropa dan NATO, maka kehancuran Ukraina adalah keniscayaan.
Sementara Rusia memetik banyak keunggulan dari situasi ini. Teknologi tempur mereka diuji, dan berkembang sempurna dari kelemahan yang ditemukan di lapangan.
Selain keunggulan militer, Rusia juga berhasil memanfaatkan situasi ini untuk membangun aliansi dengan banyak negara yang sama-sama menginginkan dunia yang multipolar.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)