Tribunners / Citizen Journalism
Kapal Induk Fujian Jawaban China Atas Tantangan AS di Asia Pasifik
Militer China kini memiliki tiga kapal induk, Liaoning, Shandong, dan Fujian. Tiga kapal induk ini memberi tanda baru dominasi militer AS di Asia.
Editor: Setya Krisna Sumarga
Desain tiang Fujian yang minimalis, terbuat dari material komposit abu-abu di pusat komando kapal induk ini menutupi antena dan sensor.
Fujian bisa memiliki radar yang lebih kuat daripada Ford jika kinerja sensor pencarian udara yang dilengkapi galium nitrida memenuhi harapan.
Dua elevator pesawat di sisi kanan kapal Tiongkok, dibandingkan tiga elevator milik USS Gerald R Ford, menawarkan lebih banyak ruang dek.
Jangkauan tempur kapal induk baru Tiongkok yang lebih besar diharapkan dapat memberikan PLAN kemampuan pengendalian wilayah maritim jarak jauh.
Kemampuan baru ini akan muncul pada saat meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan, ketika Beijing dihadapkan dengan meningkatnya serangan AS dengan dalih narasi ancaman Tiongkok.
Sebagai bagian dari program militerisasi pimpinan AS yang menargetkan wilayah tersebut, Washington telah memperkuat penempatannya di Asia-Pasifik, dengan mengandalkan sekutunya termasuk Jepang, Australia, dan Filipina.
Upaya Washington untuk meningkatkan pengaruhnya di Asia-Pasifik telah berulang kali dikecam oleh Beijing, yang menganggapnya sebagai campur tangan AS di wilayah tersebut.
Lebih luas lagi, AS telah menjalin koalisi militer lebih kuat dengan Inggris, Australia dan Selandia Baru lewat AUKUS.
Beijing selalu melihat AUKUS ini adalah pengembangan NATO di Asia Pasifik, dan bakal jadi ancaman ketimbang prospek positif baru perdamaian kawasan.
Meningkatnya kapabilitas militer China tak hanya ditandai keberhasilan membuat kapal induk secara mandiri.
China juga telah memproduksi rudal hipersonik, menjadi satu di antara segelintir negara di dunia yang kini memiliki kekuatan penangkal.
Rudal hipersonik itu bisa dimuati hulu ledak nuklir, sebuah elemen penghancur yang selama berpuluh tahun jadi kekuatan penangkal perang.
Sementara di jajaran udara, China sudah memasuki fase produksi jet tempur generasi ke-5. Bahkan sudah meluncurkan jet tempur siluman J-20 yang menyaingi F-22 Raptor.
Namun dari sekian deret kemajuan yang dicapai China di segi militer, kelemahan mereka adalah, kemampuan itu belum pernah teruji dalam peperangan sesungguhnya.
Beda dengan militer AS, yang di mana-mana telah menjajal kemampuan darat, laut dan udara lewat berbagai operasi tempur lintas benua.
Ini keunggulan strategis yang kerap digembar-gemborkan Pentagon dan Gedung Putih. AS juga memiliki paling banyak pangkalan militer di luar negaranya.
Di semua benua, AS menempatkan pangkalan militernya, selain bekerjasama secara erat dengan negara-negara tuan rumah.
Di Asia Timur dan Tenggara, AS tentu saja memiliki pijakan kuat di Korea Selatan dan Jepang, selain bermitra kuat dengan Filipina dan Singapura.
AS memiliki pangkalan militer khusus untuk pengebom jarak jauh di Pulau Diego Garcia di Tengah Samudera Hindia.
Di Pasifik, pangkalan terbesar angkatan laut AS ada Guam, dan ini jadi home base Armada VII AS yang membawahi Asia Pasifik.
Kehadiran kapal induk Fujian di armada laut Tiongkok, jelas jadi sinyal kuat betapa kompetitifnya persaingan AS dan China.
Beijing memiliki pondasi dan kekuatan ekonomi yang jauh melampaui AS. Artinya, Fujian belum menjadi produk militer strategis terakhir yang akan dibuat China.
Persaingan AS dan sekutunya melawan China masih akan panjang dan berliku. Mungkin akan semakin tajam manakala BRICS semakin kokoh sebagai penantang blok ekonomi G-7.
DI BRICS mulai berdatangan kekuatan-kekuatan yang menjauhi hegemoni AS, termasuk Uni Emirat Arab dan Arab Saudi yang akan segera bergabung.
BRICS adalah kekuatan penyeimbang baru yang diinisiasi Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan, guna menciptakan dunia yang multipolar.
Kesadaran baru yang muncu sebagai antitesa politik hegemonik Washington, yang lebih banyak menciptakan kekacauan daripada perdamaian.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)