Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Bahaya Bus Bodong Seperti Odong-odong
Bus Bodong? Odong-odong? Ya, keduanya 11-12 alias hampir sama saja alias sama-sama Ilegal dan tak laik jalan.
Editor: Malvyandie Haryadi
Oleh : Dr. KRMT Roy Suryo
TRIBUNNERS - Bus Bodong? Odong-odong? Ya, keduanya 11-12 alias hampir sama saja alias sama-sama Ilegal dan tak laik jalan.
Kita tentu sering mendengar kendaraan yang dimodifikasi menjadi sejenis kereta-keretaan di pelosok kampung guna mengangkut rombongan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa tersebut.
Biasanya dibuat dari kendaraan niaga biasa, misalnya Suzuki Carry atau Toyota Kijang yang diambil sasis dan mesin, kemudian dikaroseri menjadi seperti Lokomotif dan diberi gandengan yang berisi kereta penumpang.
Tak heran bahwa seringkali kendaraan yang tidak mendapatkan lolos SRUT (Sistem Registrasi Uji Type) bahkan sudah tidak hidup juga STNK dan BPKB-nya, karena sebenarnya juga sudah melanggar peruntukan jenis dan bentuk, tidak sesuai juga dengan VIN (Vehicle Identification Number)-nya.
Aslinya terkadang jenis Pick-Up untuk angkutan barang, namun setelah dimodifikasi jadi "kereta api" untuk menarik gerbong berisi manusia, benar-benar salah kaprah dan membahayakan.
Spesifikasi teknis mulai kekuatan mesin (HP / DK) tidak sesuai lagi, termasuk kapasitas rem yang sudah tidak memadai apalagi untuk kondisi mendadak yang membutuhkan jarak pengereman panjang, sangat beresiko tinggi fatal akibatnya.
Kita tentu masih ingat peristiwa dimana sebanyak 13 orang terluka, Alhamdulillah tidak sampai terjadi korban jiwa, akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan 2 Odong-odong dengan sebuah truk boks di Jalan Pantura, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah belum lama ini.
Nekatnya lagi-lagi Odong-odong tersebut diberi "NoPol" B-1519-WT dan B-1022-TV yang tentu saja pasti tidak akan terbaca jenis kendaraan "Odong-odong" di STNK atau BPKB-nya, karena tidak pernah dikenal VIN apalagi SUT untuk jenis modifikasi kendaraan tersebut.
Istilah Odong-odong sendiri sebenarnya bukan untuk peruntukan di Jalan raya, karena awalnya mobil-mobilan ini hanya menjadi bagian dari Komidi Putar (diluar dikenal dengan "Merry Go-Round" yang awalnya dulu bahkan mobilnya berbentuk Kereta Salju yang seolah2 ditarik oleh Kijang2 dan "berputar" berkeliling).
Dalam perkembangannya Kijang dan Kereta salju ini diubah menjadi Mobil kecil dan dirangkai, sampai akhirnya "ditarik keluar" dan mengelilingi arena Pasar Seni atau Pasar Malam tertentu.
Kini tidak mesti ada Pasar Malam, Odong-odong ini menjadi Alat transportasi dalam Kampung dan bahkan meluas antar Kampung, sampai2 juga dikenal istilah AKAP juga, namun kepanjangannya "Antar Kampung Antar Perumahan".
Oleh sebab itu di kesempatan ini saya juga sangat mendesak agar Aparat menertibkan Odong-odong yang "keluar kandang" tersebut dan bahkan sampai ke Jalan raya yang bisa berakibat kecelakaan dengan kendaraan lain yang memang diberi izin untuk di jalan raya spt di Batang tempo hari itu.
Odong-odong bolehlah tetap beroperasi untuk hiburan masyarakat, namun hanya khusus di area tempat hiburan tertentu atau zona terbatas, sehingga tidak ada yang dirugikan (pengusaha Odong-odong tetap bisa menjalankan bisnisnya menghibur rakyat, masyarakat tetap senang dan bahagia, namun pengguna jalan raya tidak terganggu jenis kendaraan yang tidak semestinya tersebut).
Terus apa hubungannya antara Odong-odong yang jelas-jelas bukan untuk Jalan Raya dengan Bus Pariwisata HYNO jenis AK1/RKA yang bernama "Putera Fajar" dan memiliki NoPol AD-7524-OG yang barusaja kecelakaan di Subang yang mengakibatkan hilangnya 11 nyawa yang tidak seharusnya itu?
Bukankah seharusnya Bus Pariwisata memiliki Surat2 lengkap dan Izin Trayek sesuai aturan hukumnya? Inilah masalahnya. Karena -maaf, meski tidak bisa disamakan 100 persen- namun antara Odong-odong yang banyak melakukan pelanggaran izin dan Bus Putera Fajar ini bisa disebut "11-12" sebagaimana statemen saya di paragraf pertama diatas, BeTi alias Beda-beda Tipis saja.
Sebab ternyata Bus yang semalam dikemudikan oleh Sudira -yang katanya sudah berpengalaman 28th menjadi sopir bus, semenjak 1996- tersebut dimiliki oleh PT Jaya Guna Hage yang beralamatkan di Ngebrak Kidul RT2/RW2 Giriwoyo Wonogiri namun SRUT-nya sudah habis semenjak tahun lalu.
Meski resmi memiliki No SRUT 551 dan saat uji terdaftar dengan Nomor PBR51043 sesuai keterangan dari Unit Pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor Dishub Kabupaten Wonogiri, Namun sebenarnya Bus yang sekilas tampak Modern tersebut ternyata adalah Bus produksi tahun 2006 alias sudah berusia 18 (delapan belas) tahun sejak awal digunakannya.
Apalagi sesuai keterangan awal Sopir Bus bernama Sudira pasca kecelakaan Minggu pagi (12/05/24) sekitar pukul 09.00 dari RSUD Subang saat diwawancarai langsung secara Live oleh salahsatu TV nasional, dia mengatakan bahwa Rem Bus terasa "dalam" ketika digunakan sejak berangkat dan diperbaiki oleh Mekanik lapangan yang ditemuinya di seputaran Tempat wisata Pelabuhan Ratu.
Secara teknis Rem yang "dalam" ini biasanya diakibatkan oleh karena kampas rem yang mulai tipis atau bahkan sudah mengikis Piringan (Cakram)-nya, sehingga upaya mekanik untuk "menaikkan" level Pedal rem tersebut sebenarnya adalah cukup beresiko bila tidak diperiksa lebih jauh kondisi ketebalan Kampas Rem dan Cakram yang ada, sebab bisa2 karena Kampas sudah habis maka akan terjadi adu Besi antara Bantalan Kampas dan Cakram yang berbahaya sekali sebenarnya.
Namun sebenarnya selain keterangan dari Sopir Bus tersebut, penting juga disimak beberapa keterangan dari para saksi mata di seputaran TKP Masjid Saadah, Ciater, Jalan Raya Subang-Bandung sebelumnya.
Banyak yang mengatakan bahwa Bus meluncur kencang hanya menggunakan Lampu Hazard (?) tanpa terlihat Upaya pengereman.
Hal ini bisa terjadi bilamana mesin memang sudah mati maka fungsi rem sama saja akan lumpuh, karena kompresi dan hidrolis oli rem dari Master / Booster Rem ke Kampas2 Rem yang terletak di tiap roda menjadi tidak mengalir dan sama saja hal tersebut adalah situasi yang sangat berbahaya.
Praktis Bus sudah tidak akan bisa dillambatkan jalannya, kecuali sopir sempat memasukkan Gigi Rendah dan-atau menarik Tuas Rem tangan, namun kalau sudah meluncur cepat (dan panik) akibatnya tidak terkendali.
At last but not least, antara Odong-odong dan Bus Putera Fajar ini akhirnya menjadi sama status-nya, yakni membahayakan masyarakat penumpangnya.
Pemerintah harus lebih tegas menertibkan angkutan umum ini semua, jangan hanya kesalahan ditimpakan kepada Sopir semata. Pemilik Bus juga harus bertanggungjawab akan ketidaktertiban surat dan administrasi kendaraan yang dia bisniskan tersebut, apalagi kalau ternyata ada "kong kali kong" antara penyedia jasa dengan penyewa yang tidak seharusnya terjadi.
Nyawa manusia jauh lebih penting dari keuntungan semata, sama seperti kejujuran dan etika jauh lebih mulia dari kemenangan kalau hal tersebut diperoleh dari hasil kecurangan sebagaimana yang barusan ditunjukkan didepan mata dan celakanya malah menggunakan teknologi (SIREKAP) yang tidak seharusnya disalahgunakan untuk kejahatan dan masyarakat semua yang jadi korbannya.
)* Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB -/sekaligus Pembina & Penasehat beberapa Organisasi Otomotif spt PPMKI (Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia), Mercedes-Benz dan TBN (Touring Bela Negara).