Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Jangan Panggil Aku Prof!
Demikianlah Profesor Fathul Wahid, Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, suatu ketika.
Editor: Hasanudin Aco
Fathul pun mengajak yang lainnya menjadikan hal itu sebagai gerakan kultural atau gerakan budaya (dan juga moral tentunya).
Memang, akhir-akhir ini menyeruak fenomena pejabat dan politikus mengejar gelar Profesor. Termasuk mereka yang melakukannya dengan menghalalkan segala cara. Misalnya, yang gelar S2-nya terbit terlebih dulu daripada gelar S1-nya yang terbit kemudian.
Ada sejumlah hal yang patut diduga menjadi motif atau pemicu perburuan gelar Profesor.
Pertama, motif politik. Motif ini berlaku terutama bagi para pejabat publik yang berkecimpung di dunia politik. Dengan bergelar Guru Besar maka posisi mereka sebagai pejabat publik akan kian mendapatkan legitimasi secara politik (dan moral).
Kedua, motif ekonomi. Motif ini terutama berlaku bagi mereka yang mengejar pendapatan. Maklum, tunjangan bagi Guru Besar mencapai Rp11 juta, sedangkan dosen biasa hanya Rp3-4 juta per bulan.
Ketiga, motif prestise. Motif ini terutama berlaku bagi mereka yang mengejar kehormatan secara sosial. Motif ini terkait dengan feodalisme.
Motif ini berlaku pula bagi mereka yang mengalami krisis identitas. Gelar Guru Besar menjadi identitas baru bagi mereka. Dengan identitas baru tersebut mereka lebih percaya diri.
Maka marak pulalah perburuan gelar doktor sebagai batu loncatan untuk meraih gelar Profesor. Pun gelar doktor honoris causa demi sebuah prestise.
Tapi tidak bagi Fathul Wahid. Baginya, gelar Profesor hanya atribut belaka. Artifisial saja. Tidak substantif. Tidak esensial.
Apalah arti sebuah nama. Apalah arti sebuah gelar.
"What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," kata William Shakespeare (1564-1616), pujangga terbesar Inggris, yang artinya kurang lebih, “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”