Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
KDRT Marak, Sudahkah Para Perempuan di Negeri Ini Merdeka Seutuhnya?
Tahun ini, pada 2024, tepat 79 tahun sudah Negara Republik Indonesia merdeka dari kekangan penjajah. Apakah perempuan sudah benar-benar merdeka?
Editor: Anita K Wardhani
Namun, banyak dari para perempuan yang mendapatkan KDRT dari suaminya, sulit melepas diri dari belenggu dengan alasan khawatir mengganggu psikologis anak.
Padahal dengan terpaksa bertahan dalam kesakitan, perempuan sedang menggerogoti psikologisnya sendiri. Inilah salah satu bukti dari ketidakmerdekaan seorang perempuan.
Selain kasus KDRT yang terjadi, praktik patriarki yang masih menyelimuti rumah tangga para pasangan menikah di negeri ini juga mengundang keprihatinan.
Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia (Sakina & Desi, 2017).
Seorang istri dan ibu dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik dengan sempurna selain harus dapat mengurus anak dengan baik.
Sayangnya, masih banyak suami yang menganggap tugas pengasuhan dan urusan domestik hanyalah bertumpu di pundak istri.
Penganut patriarki menganggap bahwa tugas seorang suami hanyalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan lahir anak dan istri.
Sedangkan kebutuhan batin anak untuk dijaga dan diajak bermain oleh ayah, kebutuhan batin istri untuk dibantu diringankan pekerjaan domestiknya belum menjadi prioritas bagi sebagian ayah di negeri ini.
Lagi-lagi, perempuan belum sepenuhnya terlepas dari budaya patriarki negeri ini.
Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah seorang perempuan seringkali disalahkan jika sudah menikah namun dalam kurun waktu tertentu belum juga hamil.
Ada saja kasus dimana orangtua dari suami atau bahkan suaminya sendiri yang meminta ijin sang istri untuk menikah lagi karena sang istri belum juga hamil.
Padahal, kasus infelrtilitas bukan hanya ditemukan pada perempuan namun juga laki-laki. Hasil penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40 persen dari angka kejadian infertil, istri 40-55 persen, keduanya 10 persen dan idiopatik 10 persen.
Hal ini dapat menghapus anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri (Riyanti Imron, 2016).
Pihak laki-laki dan keluarganya, seringkali menyalahkan perempuan ketika dalam sebuah rumah tangga belum ada keturunan.