Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Melihat Laga China-Rusia versus Amerika-Eropa di Benua Afrika
Penguasa Burkina, Niger, dan Mali mendepak pasukan Prancis dari negara-negara itu, yang kehadirannya dianggap menimbulkan konflik tak berkesudahan.
Editor: Setya Krisna Sumarga
TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Benua Afrika kini menjadi medan pertarungan politik dan militer lain antara kekuatan Tiongkok-Rusia melawan Amerika Serikat-Eropa.
Persaingan di antara mereka semakin sengit, ditambah perubahan signifikan sejumlah negara Afrika yang berusaha melepaskan diri dari eks koloninya yang menghisap sumber daya alam Afrika.
Niger dan Burkina Faso adalah yang berani melawan. Penguasa Burkina Faso Kapten Ibrahim Traore dan pemimpin Niger mengusir pasukan Prancis dari negara itu.
Sebaliknya, Burkina Faso, Mali, dan Niger, terang-terangan membuka diri masuknya kekuatan Rusia. Niger adalah pemasok utama uranium untuk PLTN Prancis.
Nyala listrik di hampir setiap bangunan di Prancis selama bertahun-tahun amat tergantung pasokan mineral uranium dari Niger guna menggerakkan pembangkit listrik negara itu.
Sementara kemiskinan terus saja membekap negara-negara tersebut, dan nyaris tidak ada prospek negara itu menikmati kemakmuran dari kekayaan alamnya.
Baca juga: Kudeta Niger: Prancis Siapkan Evakuasi, Burkina Faso dan Mali Dukung Penguasa Militer
Baca juga: Berani Usir Ratusan Tentara AS dari Niger, Ini Sosok Jenderal Omar Tchiani?
Baca juga: Mali Perintahkan Duta Besar Swedia Hengkang dalam Waktu 3 Hari
China pada awal September 2024 menggelar konferensi Sino-Afrika, yang dihadiri puluhan pemimpin benua Afrika.
Ini forum ke-9 Kerja Sama Tiongkok-Afrika (FOCAC), dan pertemuan 4-6 September itu secara signifikan menandai fase penting hubungan Afrika dengan mitra globalnya di era pasca-Covid.
Tiongkok adalah mitra utama terakhir yang mengadakan KTT dengan negara-negara Afrika setelah berakhirnya pandemi corona.
KTT Afrika sebelumnya diadakan Uni Eropa dan AS pada tahun 2022, dan oleh Rusia pada tahun 2023. Masing-masing forum memiliki plus minus masing-masing.
Vsevolod Sviridov, pakar di Pusat Studi Afrika, Sekolah Tinggi Ekonomi Moskow menulis secara apik di situs Russia Today, 11 September 2024, menyangkut perubahan serius di Afrika ini.
Pandemi, ditambah dengan meningkatnya ketegangan global, pergeseran ekonomi makro, dan serangkaian krisis, menurut Vsevolod Sviridov, menggarisbawahi meningkatnya peran Afrika dalam ekonomi dan politik global.
Perkembangan ini sangat disadari Tiongkok, yang telah mengalami perubahan besar baik internal maupun eksternal sebagai akibat pandemi hebat yang merenggut jutaan nyawa manusia.
Hubungan antara Tiongkok dan Afrika dalam berbagai perspektif sedang memasuki fase baru. Tiongkok tidak lagi hanya menjadi mitra ekonomi istimewa bagi Afrika.
China telah menjadi sekutu politik dan militer utama bagi banyak negara Afrika. Hal ini terbukti meningkatnya peran Tiongkok dalam peningkatan ketrampilan aparatur negara di benua itu.
Beijing melatih pegawai negeri sipil Afrika dan berbagi keahlian dengan mereka, serta dari beberapa inisiatif yang diumumkan pada pertemuan puncak tersebut, termasuk kerja sama militer-teknis.
China siap memberi pelatihan perwira militer, upaya pembersihan ranjau darat, dan menyediakan lebih dari $ 100 juta untuk mendukung angkatan bersenjata negara-negara Afrika.
Namun, di arena politik, Beijing terlihat melangkah sangat hati-hati. Inisiatif yang disebutkan di atas harus dilihat sebagai upaya tentatif pertama daripada strategi sistematis.
Meskipun Tiongkok berusaha menghindari konfrontasi politik dengan barat di Afrika dan bahkan bekerja sama erat dengannya dalam isu-isu tertentu, hal itu menjadi semakin sulit dilakukan.
Washington bertekad untuk menjalankan kebijakan konfrontasi dengan Beijing di Afrika, hal ini terbukti dari retorika AS dan dokumen-dokumen strategisnya.
Perpisahan Tiongkok dan barat hampir tidak dapat dihindari, jika Beijing melangkah sendiri dan mengabaikan posisi barat.
Artinya, perusahaan-perusahaan Tiongkok dapat kehilangan kontrak dengan perusahaan-perusahaan barat, dan tidak akan memiliki akses ke infrastruktur transportasi dan logistik.
Akibatnya, Tiongkok perlu mengembangkan pendekatan komprehensifnya sendiri terhadap Afrika, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pusat-pusat kekuatan global lainnya.
Pertanda penting meningkatnya konfrontasi antara AS dan Tiongkok di Afrika adalah penandatanganan nota kesepahaman trilateral antara Tiongkok, Tanzania, dan Zambia.
Ketiganya sepakat terlibat proyek rekonstruksi Jalur Kereta Api Tanzania-Zambia (TAZARA), yang awalnya dibangun oleh Tiongkok pada tahun 1970-an.
Jika jalur tersebut akan diperluas, dialiri listrik, dan dimodernisasi, dan TAZARA berpotensi menjadi alternatif yang layak bagi salah satu proyek investasi utama AS di kawasan tersebut: Koridor Lobito.
Perbaikan infrastruktur ini akan meningkatkan daya dukung logistik guna mengekspor mineral penting tembaga dan kobalt dari Republik Demokratik Kongo dan Zambia.
Material akan diangkut lewat jalur kereta api yang sudah diperbaiki dari Republik Demokratik Kongo ke pelabuhan Lobito di Angola.
Di wilayah pedalaman seperti Kongo Timur, infrastruktur transportasi memainkan peran penting dalam proses ekstraksi mineral.
Mengingat minimnya jaringan rel dan jalan di kawasan tersebut, satu jalur kereta api non-listrik yang menuju ke pelabuhan di Samudra Atlantik atau Samudra Hindia dapat secara signifikan meningkatkan operasi sektor pertambangan dan secara permanen menghubungkan wilayah ekstraksi dan pemrosesan ke pasar tertentu.
Tampaknya inisiatif Tiongkok lebih menjanjikan dibandingkan dengan inisiatif AS, terutama karena perusahaan Tiongkok mengendalikan tambang-tambang besar di Republik Demokratik Kongo dan Zambia.
Hal ini memberi mereka keuntungan yang jelas dalam bekerja sama dengan operator dan peralatan Tiongkok, yang memfasilitasi ekspor mineral melalui pelabuhan-pelabuhan Afrika Timur.
Strategisnya Afrika Timur
Secara keseluruhan, hal ini menunjukkan Afrika Timur akan mempertahankan perannya sebagai pemimpin ekonomi di benua itu dan salah satu wilayah yang paling terintegrasi dan berkembang pesat untuk impor.
Puncak dari pertemuan di Beijing tersebut adalah janji Tiongkok untuk menyediakan $50 miliar bagi negara-negara Afrika selama tiga tahun ke depan atau hingga 2027).
Angka ini menggemakan komitmen $55 miliar kepada Tiongkok yang dibuat oleh AS (selama 3 tahun) pada Pertemuan Puncak AS-Afrika 2022.
Juga menggaungkan janji bantuan $170 miliar yang dijanjikan Uni Eropa untuk diberikan selama tujuh tahun pada 2021.
Akibatnya, para pemain global terkemuka mengalokasikan sekitar $15-20 miliar setiap tahunnya untuk Afrika.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan yang nyata dalam janji-janji tersebut.
Hampir setiap negara ingin menjanjikan sesuatu kepada Afrika – misalnya, Italia telah menjanjikan $1 miliar setiap tahunnya.
Namun, paket besar yang disebut "bantuan keuangan" ini sering kali tidak memiliki kesamaan dengan bantuan yang sebenarnya.
Sebab, biasanya berupa pinjaman komersial atau investasi perusahaan. Selain itu, sebagian besar dana ini dibelanjakan di negara-negara donor.
Misalnya, untuk pengadaan dan produksi barang, yang berarti mereka berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara Afrika dalam cara yang minimalis.
Sedangkan untuk Tiongkok, mereka akan menyediakan sekitar $11 miliar dalam bentuk bantuan yang sebenarnya.
Ini adalah jumlah yang substansial yang akan digunakan untuk mengembangkan layanan kesehatan dan pertanian di Afrika.
Sebanyak $30 miliar lainnya akan datang dalam bentuk pinjaman, sekitar $10 miliar per tahun, dan $10 miliar lagi sebagai investasi.
Kerangka keuangan secara keseluruhan memungkinkan kita untuk membuat kesimpulan tertentu, meskipun penting untuk dicatat, metodologi untuk menghitung angka-angka ini tidak jelas, dan garis antara pinjaman, bantuan kemanusiaan, dan investasi masih kabur.
Dalam hal investasi (rata-rata sekitar $3 miliar per tahun), Beijing berencana untuk mempertahankan tingkat aktivitasnya sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, investasi langsung asing (FDI) Tiongkok berkisar antara $2 miliar hingga $5 miliar per tahun.
Bantuan keuangan dan kemanusiaan hampir dapat berlipat ganda (dari $1,5 miliar-$2 miliar per tahun saat ini) sementara pinjaman diharapkan kembali ke tingkat sebelum pandemi (yang masih akan berada di bawah tahun-tahun puncak 2012-2018).
Rencana ekonomi Tiongkok untuk Afrika tampaknya cukup konservatif. Tidak mengherankan isu utang menjadi pusat perhatian selama pertemuan puncak tersebut.
Selama pandemi Covid-19, stabilitas ekonomi makro di negara-negara Afrika memburuk, yang menyebabkan tantangan dalam pembayaran utang dan memaksa Afrika untuk memulai proses restrukturisasi utang dengan bantuan IMF dan G20.
Mulai tahun 2020, kombinasi faktor internal dan eksternal menyebabkan Tiongkok memangkas pinjamannya ke negara-negara Afrika secara signifikan – dari sekitar $10-15 miliar menjadi $2-3 miliar.
Pengurangan pendanaan ini telah memicu reformasi ekonomi di beberapa negara Afrika (misalnya Ghana, Kenya, dan Nigeria), yang telah beralih ke kebijakan pajak dan moneter yang lebih ketat.
Meskipun janji untuk meningkatkan pinjaman mungkin tampak seperti kabar baik bagi negara-negara Afrika, kemungkinan besar sebagian besar pendanaan ini akan digunakan untuk pembayaran bunga atas kewajiban yang ada dan restrukturisasi utang, karena Tiongkok ingin memastikan pinjamannya dilunasi.
Meskipun Tiongkok bersikap hati-hati terhadap Afrika, interaksinya dengan benua itu akan berkembang sebagai akibat dari perubahan eksternal dan internal yang memengaruhi Afrika dan Tiongkok.
Afrika secara bertahap akan menjadi lebih terindustrialisasi dan akan mengurangi impor sementara permintaan untuk investasi dan produksi lokal akan meningkat.
Tiongkok akan menghadapi tantangan demografi, dan tenaga kerjanya akan berkurang. Hal ini dapat mendorong kerja sama bilateral karena beberapa fasilitas produksi mungkin akan dipindahkan dari Tiongkok ke Afrika.
Hal ini kemungkinan besar akan menjadi perhatian negara-negara Afrika Timur seperti Ethiopia dan Tanzania, mengingat investasi Tiongkok saat ini dalam infrastruktur energi dan transportasi mereka.
Selain itu, dengan meningkatnya populasi Afrika dan menurunnya populasi Tiongkok, Beijing diharapkan dapat menarik lebih banyak pekerja migran Afrika untuk membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja.
Lalu bagaimana sikap barat melihat semakin dalamnya pengaruh dan cengkeraman China di benua Afrika ini?
Pada bulan April 2024 , Pusat Studi Strategis Afrika (ACSS) menerbitkan artikel “Strategi Tiongkok untuk Membentuk Ruang Media Afrika” oleh peneliti Paul Nantulya.
Penulis mencoba mengungkap strategi media Tiongkok di Afrika. Kritik terhadap Tiongkok di situs web ACSS tidaklah mengejutkan, karena Pusat tersebut didirikan di dalam Departemen Pertahanan AS dan mempromosikan pandangan serta agenda struktur resmi AS.
Dengan kata lain, melalui organisasi seperti ACSS, AS terlibat dalam kegiatan yang sama yang disalahkannya terhadap Tiongkok.
Artikel tersebut mencatat dalam beberapa tahun terakhir, investasi Tiongkok di ruang media Afrika telah melonjak.
Negara tersebut bermaksud untuk membangun kehadiran kelembagaan jangka panjang di pasar media dan komunikasi Afrika.
Hal ini terbukti dari fakta bahwa kantor berita milik negara Xinhua memiliki 37 kantor di seluruh Afrika.
Penyedia layanan TV satelit Tiongkok StarTimes telah menjadi pemain terbesar kedua di pasar Afrika yang penting secara strategis, Tiongkok membiayai dan mendukung outlet media Afrika.
Kantor berita Tiongkok intens berbicara baik tentang elit politik yang berkuasa di negara-negara Afrika yang memiliki hubungan persahabatan dengan Tiongkok.
Menurut penulis artikel tersebut, Partai Komunis Tiongkok (PKT) memainkan peran penting dalam mendukung dan mendanai inisiatif Tiongkok.
Melalui strategi ini, menurut peneliti itu, PKT mendapat kesempatan untuk menyebarkan propaganda dan memengaruhi pikiran kaum muda.
Selain komponen finansial dan perluasan kehadiran media "fisik"-nya, aspek penting lain dari strategi media Tiongkok di Afrika adalah pelatihan personel.
Tiongkok secara aktif terlibat dalam pelatihan mahasiswa dan profesional media melalui program pengembangan profesional, pertukaran, dan magang.
Pertarungan Dunia Maya
Paul Nantulya memperingatkan, penanaman pengaruh media PKT dalam ekosistem media Afrika berisiko mendistorsi ruang informasi Afrika.
Artikel semacam itu sangat selaras dengan kebijakan luar negeri global AS, dan perjuangannya melawan disinformasi.
Tidak mengherankan ACSS melihat Tiongkok dan Rusia sebagai sumber utama disinformasi.
ACSS secara berkala menerbitkan artikel dan menyelenggarakan acara yang didedikasikan untuk memerangi disinformasi di Afrika.
Pada tahun 2023, ACSS menerbitkan tujuh materi semacam itu, dan lima lainnya telah muncul sejak awal tahun 2024.
Artikel-artikel tersebut meliputi artikel berjudul ‘Memetakan Gelombang Disinformasi di Afrika’ (tentang kampanye disinformasi Tiongkok dan Rusia di Afrika), ‘Melacak Intervensi Rusia untuk Menggagalkan Demokrasi di Afrika’, ‘Pengaruh Tiongkok pada Media Afrika’, ‘Intervensi untuk Melemahkan Demokrasi di Afrika: Buku Pegangan Rusia untuk Pengaruh’, dan seterusnya.
Dalam artikel-artikel ini, pernyataan umum tentang nilai-nilai demokrasi dicampur dengan statistik yang tersedia untuk umum, dan meskipun mungkin tampak sepele, itu adalah bagian dari pendekatan sistematis.
Sejak tahun 2022, memerangi disinformasi telah menjadi salah satu tujuan “Strategi AS Menuju Afrika.”
Padahal ruang media Afrika masih didominasi media yang dikendalikan barat seperti BBC, CNN, CNBC, France 24, Euronews (Africanews), Africa Report / Jeune Afrique dan lain-lain.
Mereka memberikan pengaruh yang cukup besar pada agenda dan tren regional, memiliki akses ke informasi orang dalam, dan menggunakan metode yang sama seperti Tiongkok.
Barat melatih personel, membuat media yang berorientasi Afrika, membuka kantor tambahan, dan berinvestasi dalam infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi.
Satu-satunya perbedaan adalah media barat telah melakukan ini selama lebih dari satu abad, jauh lebih dulu daripada upaya China maupun Rusia.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran media Afrika (serta kualitasnya) telah meningkat pesat.
Ruang media Afrika menjadi lebih berdaulat, dan muncul outlet-outlet berpengaruh besar yang tidak bergantung pada agenda yang dipaksakan dari luar.
Ini termasuk surat kabar seperti The East African (Kenya), The Herald (Zimbabwe), The Punch (Nigeria) dan lain-lain.
Pusat-pusat kekuatan non-Barat – seperti Tiongkok, Turki, UEA, Rusia, dan India – memainkan peran penting dalam perkembangan ini.
Outlet media dari negara-negara ini meliput acara-acara Afrika dan berbagi pengalaman profesional dengan rekan-rekan Afrika.
Akibatnya, semakin sulit bagi barat untuk bersaing dengan sumber informasi alternatif dan memengaruhi agenda.
Artikel Paul Nantulya mirip dengan upaya AS untuk mengendalikan TikTok, menghukum korporasi besar media Rusia, atau larangan Israel terhadap Al Jazeera di Palestina.
Salah satu tujuan utama kebijakan AS di Afrika, juga di wilayah lain adalah untuk menentang meningkatnya pengaruh Tiongkok dan Rusia.
Namun, Rusia tidak boleh menganggap kehadirannya di Afrika sebagai tanda meningkatnya konfrontasi dengan AS dan barat secara kolektif.
Kebijakan Rusia di Afrika bersifat mandiri terlepas dari posisi Washington atau Paris, dan terutama harus ditujukan pada kebutuhan audiens Afrika.
Media Rusia harus menanggapi tekanan AS dengan memperluas audiensnya, meningkatkan kualitas materi yang diterbitkan dan disiarkan.
Mereka harus menarik para penulis dan pakar Afrika yang bereputasi baik, dan memperluas penyiaran televisi dan radio di benua Afrika.
Dari realitas ini, kita bisa melihat secara signifikan, media massa dan berbagai saluran komunikasi sosial telah menjadi arena konfrontasi global.
Pertarungan sudah pasti akan panjang, di tengah dinamika perubahan negara-negara dunia ketiga yang menginginkan tatanan yang adil dan setara.
Gaya politik barat yang menggunakan jargon demokrasi dan hak asasi manusia, sesungguhnya mencerminkan mentalitas perang dingin.
Mereka realitasnya kerap memperlihatkan watak neokolonialisme dan neoimperialisme, yang sudah pasti merugikan banyak pihak.
Sejumlah negara di Asia dari tenggara sampai barat daya, Afrika, serta Amerika Selatan merasakan kebijakan hegemonik itu.
Tiongkok dan Rusia, mungkin juga memiliki agenda politik sama, memperluas pengaruh, tapi kita bisa membaca sejarah, kedua negara tidak terlalu bergaya ugal-ugalan seperti barat.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)