Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Politik Suka Hati vs Politik Hati Nurani
Mekanisme transparansi itu harus kelihatan ketika pemimpin membuat kebijakan yang terbuka dan memilih jajarannya bukan karena balas jasa
Editor: Eko Sutriyanto
Kerap janji kampanye hanya merupakan sebuah lips service (janji manis) saja. Manis di bibir tidak seindah realitas. Karena itulah politisi itu kadang dilabeli the king of lips service.
Kebiasaan berbohong (tidak melaksanakan janji kampanye) sudah kerap terjadi oleh oknum elit politik. Mengapa?
Pertama, politisi mungkin berpikir yang penting saya menang dulu dan meraih kursi. Realisasi janji kampanye soal belakang.
Kedua, mungkin terlanjur menyampaikan sebuah program yang bombastis tetapi setelah menang menyadari sulit mewujudkannya, terbentur dengan regulasi dan anggaran.
Ketiga memang sudah menjadi karakter elit politik. Dan keempat yang tidak kalah penting karena tidak ada sanksi pidana bagi para elit politik yang membohongi rakyat.
Politik Hati Nurani. Pemahaman politik yang benar memang sangat diharapkan tetapi roh dalam politik sebenarnya berangkat dari “hati”. Hati untuk politik dihidupi dengan “nurani” karena “otoritas harus dipandu hukum moral.” Politik sejati adalah politik hati nurani yang mengarahkan pelaku dalam dunia politik selalu mengedepankan kebenaran.
Politik selalu membutuhkan hati nurani dan tunduk padanya karena dia hendak membuat kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk bonum commune. Perwujudan politik hati nurani untuk mewujudkan bonum commune ini mestinya terlaksana dalam setiap perhelatan pesta demokrasi (Romo Yohanes Benny Suwito dalam Hidup Katolik.com 24 Maret 2019)
Romo Mangunwijaya seorang imam Katolik pernah menguraikan perihal politik hati nurani. Politik Hati Nurani, bukan politik dalam arti mencari kekuasaan dan mempertahankannya dengan segala cara.
Hati nurani sebagai bagian integral dari politik. Politik harus menggunakan hati nurani di mana diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas dan demi keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sri Handoko dalam Kompas.id 25 Januari 2024 mengatakan, mengatakan bahwa untuk meraih kekuasaaan, elit politik dan partai politik tidak segan melakukan berbagai upaya yang kadang-kadang melanggar norma-norma kebaikan, menabrak aturan dan hukum yang berlaku sehingga muncul satu istilah “politik itu kotor” yang sangat bertolak belakang alias paradoks dengan tujuan partai politik yang sbenarnya sangat mulia itu.
Praktek-praktek kotor yang mewarnai kehidupan perpolitikan nasional sudah sedemikian parahnya sehingga seakan-akan ada pembenaran bahwa memang seorang politisi kalau ingin berhasil harus dapat bermain kotor.
Pembenaran itu lebih meyakinkan lagi tatkala banyak politisi yang mendapatkan kepercayaan rakyat untuk duduk di lembaga Eksekutif maupun Legislatif, masih melanjutkan kebiasaan kotornya itu sehingga sangat merugikan kepentingan rakyat dan pada akhirnya menjadi penghuni rumah tahanan setelah berurusan dengan pengadilan.
Kondisi seperti inilah yang mendorong munculnya ketidakpercayaan dan antipati masyarakat terhadap partai politik. Memang sangat ironis, namun itulah kenyataan yang harus dihadapai bangsa Indonesia di era reformasi dan demokratisasi. Nyata pembutaan dan pembungkaman hati Nurani yang semestinya tidak boleh terjadi. (Ir. H. Didi Apriadi, M.Ak, dalam bukunya “Paradoks Politik Hari Nurani).
Penutup