Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Mari Berpikir “Out of The Box” Soal Ekspor Pasir Laut
Setelah lebih dari dua dekade dihentikan, kebijakan ekspor pasir laut kembali dibuka pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Editor: Dodi Esvandi
Oleh Algooth Putranto
Penyuka Isu Politik dan Ekonomi
Setelah lebih dari dua dekade dihentikan, kebijakan ekspor pasir laut kembali dibuka pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Keputusan ini tidak hanya mendatangkan berbagai kritik dari aktivis lingkungan, tetapi juga menjadi bahan perdebatan publik yang mempertanyakan manfaat ekonomi dan dampak ekologisnya.
Saya akan membatasi untuk tak perlu masuk dalam perdebatan spektrum environmentalis vis a vis developmentalis yang akan jadi perdebatan warung kopi tiada ujungnya.
Titik pijak saya dalam persoalan ini adalah kelas menengah pragmatis yang sadar dompet Negara kini kering sehingga negara wajib menggenjot pendapatan untuk menyokong belanja Negara.
Dengan titik pijak ini maka dengan mudah saya akan meletakkan persoalan ekspor pasir hasil sedimen di laut, bila dilakukan secara prinsip keberlanjutan, dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi Indonesia dan bagaimana berbagai kritik dapat dijawab secara proporsional dan realistis.
Baca juga: Soal Eksploitasi Pasir Laut, Pakar Maritim: Indonesia Harus Perhatikan Upaya Pelestarian Lingkungan
Sebagai kelas menengah yang terdidik dengan baik, saya melihat ekspor pasir laut itu memiliki potensi untuk mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar.
Singapura, yang selama ini menjadi importir pasir terbesar di dunia, sangat bergantung pada pasir laut Indonesia untuk proyek reklamasi lahan mereka.
Pada 2003, Indonesia mengekspor sekitar 3,8 juta ton pasir laut dengan nilai transaksi mencapai sekitar US$ 9,6 juta.
Singapura, yang membutuhkan pasir untuk memperluas wilayah reklamasi seperti di Pelabuhan Tuas, memiliki permintaan yang terus meningkat, diperkirakan mencapai 4 miliar meter kubik hingga 2030.
Keputusan pemerintah untuk membuka kembali melakukan ekspor ini dapat mengisi celah permintaan yang besar tersebut.
Hal ini tentu dapat meningkatkan devisa negara dan membantu menopang berbagai program pembangunan.
Dengan potensi devisa yang dihasilkan dari pasir laut, pemerintah dapat menambal keuangan Negara.
Mengutip Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi volume pasir laut yang ditawarkan pemerintah mencapai 1.764 miliar meter kubik, ini jelas sumber pendapatan signifikan.