Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Pentagon Masyarakat Pancasilais
Masyarakat Pancasilais adalah masyarakat yang menjadikan lima silanya sebagai landasan dalam setiap aspek kehidupan
Editor: Eko Sutriyanto
Tetapi kenyataannya, Pancasila sering kali menjadi sekadar doktrin formal tanpa upaya nyata untuk menjadikannya alat pembentuk karakter masyarakat.
Di sini pentingnya kita berbicara tentang kurikulum pendidikan yang juga Pancasilais. Kita perlu merubah paradigma kita tentang pendidikan.
Kurikulum pendidikan harus dipandang sebagai "the battle of sovereignty" (pertempuran kedaulatan). Hal ini karena di ranah inilah kita merancang benteng ideologi bangsa.
Bangsa dan negara ini harus terus diingatkan dan dididik dalam ajaran Pancasilais. Ini adalah amanat UUD'45 di mana negara harus "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Tidak saja cerdas, tetapi juga ideologis dan berkarakter.
Tesis maha penting ini hadir karena saat ini kita menjauh dari karakter Pancasilais.
Tidak percaya? Mari kita cek fakta. Gotong royong, adalah inti dari sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Gotong royong adalah praktek kolektif yang tidak mengenal batas-batas egoisme individu. Namun, kenyataan pahit yang kita hadapi sekarang adalah banyaknya elit dan penguasa yang lebih memilih "gotong nyolong"—kerjasama untuk kepentingan pribadi dan kelompok daripada untuk kesejahteraan bersama. Ini fakta dan nyata.
Kesejahteraan yang Berkeadilan.
Masyarakat Pancasilais juga berarti masyarakat yang berjuang untuk kesejahteraan yang berkeadilan. Soekarno dengan jelas menggambarkan visi Indonesia yang adil dan makmur dalam sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ia tidak berbicara tentang kemakmuran dan kesentosaan yang hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat.
Namun, realitasnya adalah kita masih melihat ketimpangan yang mencolok—baik dalam hal kekayaan, akses pendidikan, maupun layanan kesehatan.
Jika kita mengaku sebagai masyarakat Pancasilais, maka sudah semestinya mendorong kebijakan ekonomi yang berkeadilan.
Kesejahteraan tidak boleh hanya menjadi milik mereka yang berada di pusat kekuasaan ekonomi, melainkan harus dinikmati oleh seluruh warga negara. Inilah esensi dari keadilan sosial yang harus kita perjuangkan. Kita realisasikan. Kita petagonkan.