Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
PPN 12 Persen dan Risalah RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
SALAH satu cara melihat keseriusan sebuah partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat adalah konsistensinya dalam menjaga sikap.
Penulis: Erik S
Editor: Wahyu Aji
*Politik Kemunafikan PDI Perjuangan*
Merujuk pada seluruh rangkaian atas pra-kondisi kebijakan kenaikan PPN 12 persen yang didasarkan pada UU HPP penting dipahami bahwa saat ini PDI Perjuangan sedang memainkan wacana politik kemunafikan.
PDI Perjuangan seolah cuci tangan atas pikiran dan inisiatif yang dibuatnya sendiri dengan menyalahkan posisi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo. Apalagi dalam wacana publik yang digaungkan oleh PDI Perjuangan tidak sampaikan secara menyeluruh membuat masyarakat salah paham terhadap posisi pemerintah.
Padahal dalam mengimplementasikan kebijakan yang didasarkan pada UU HPP ini, Presiden Prabowo telah melakukan penyaringan (filter) dengan sangat hati-hati dan analisa mendalam bahwa kenaikan PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang-barang mewah dan masuk dalam kategori premium. Selain itu, masyarakat penting pula memahami bahwa Prabowo sebagai kepala pemerintahan mewajibkan dirinya sebagai pelaksana undang-undang.
Selain itu atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait PPN 12 persen, PDI Perjuangan sejatinya mengapresiasi kinerja Presiden Prabowo bahwa pemerintahan nasional yang mereka kuasai selama 10 tahun dari tahun 2014-2024 mendorong keberlanjutan ekonomi dan fiscal yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Hal ini penting dipahami karena kerja-kerja pemerintah dan DPR sebelumnya tidak didekonstruksi oleh Presiden Prabowo.
Apalagi pada konteks yang lebih luas, Prabowo pasca ditetapkan sebagai presiden terpilih, dilantik dan menjalankan pemerintahan selalu berusaha menjaga keharmonisan dengan Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan.
Misalnya; Prabowo melalui Partai Gerindra adalah garda terdepan dalam menghalangi agar revisi UU MD3 tidak terjadi agar partai dengan raihan kursi terbanyak di DPR sehingga Puan Maharani tetap menjadi Ketua DPR RI.
Kemudian, Partai Gerindra melalui Ketua Harian DPP Sufmi Dasco Ahmad adalah sosok penting dibatalkannya revisi UU Pilkada melalui konsolodasi di DPR dengan tetap menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60 tahun 2024 terkait syarat threshold pencalonan kepala derah. Tentu posisi politik Partai Gerindra ini membuat PDI Perjuangan bisa tetap eksis di Pilkada Serentak 2024 karena bisa mengajukan calon kepala daerah khususnya diwilayah-wilayah sentral seperti DK Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Pun jika Prabowo dan Partai Gerindra melakukan arogansi politik dengan melakukan revisi UU MD3 dan Putusan MK 60/2024 tentu akan berdampak pada gagalnya kader PDI Perjuangan menduduki posisi Ketua DPR 2024-2029 dan gagalnya PDI Perjuangan dalam syarat mencalonkan kepala daerah di banyak wilayah karena kuatnya posisi Koalisi Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia.
Artinya pada upaya menjaga kondusifitas, utamanya di tahun 2024 yang merupakan tahun politik yang sangat melelahkan untuk bangsa ini. Penting mengingatkan PDI Perjuangan untuk menghentikan drama serta gimik politik yang penuh kemunafikan karena berpotensi merusak relasi antara Prabowo dan Megawati.