TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kendala implementasi layanan inklusi keuangan digital perlu diselesaikan dalam rangka mengejar target pertumbuhan kepemilikan rekening di masyarakat sebesar 75 persen dari saat ini sekitar 36 persen sebagaimana ditetapkan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Riset Pendahuluan yang dilakukan LPEM UI dalam rangka mengetahui perkembangan inklusi keuangan di daerah menemukan lima kendala utama yakni keterbatasan jumlah agen terutama agen LKD/nonbank, lokasi agen yang relatif dekat dengan Bank dan ATM.
Sebagian besar pengguna merupakan nasabah bank, fungsi LKD dominan digunakan pembayaran sedangkan Laku Pandai untuk layanan keuangan dasar, dan kendala terkait ketersediaan sinyal, pendanaan, dan peralatan yang tidak memadai.
Peneliti Senior dari Universitas Indonesia, Chaikal Nuryakin mengatakan, keterbatasan jumlah agen inklusi keuangan harusnya direspon dengan membuka ruang bagi institusi non perbankan dalam hal ini perusahaan telekomunikasi untuk dapat merekrut agen.
"Agen yang ada di daerah masih didominasi mitra perbankan, sementara potensi agen individual yang dapat direkrut dari agen pulsa, warung, toko, dan kios jumlahnya jauh lebih banyak di pelosok," katanya di Jakarta, Selasa (28/2/2017).
Agen-agen individual tersebut memiliki waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan badan usaha seperti PT, Koperasi, CV, UD, di samping usaha utama mereka memiliki kemiripan dengan kegiatan keagenan dalam memberikan layanan keuangan digital.
“Peninjauan kembali regulasi terkait penunjukkan agen individual perlu dilakukan agar dapat memperkuat sebaran dan jaringan agen layanan keuangan inklusif hingga ke pelosok," katanya.
Dengan jumlah yang terbatas ditambah lokasi yang berdekatan dengan bank atau ATM, kondisi ini menyebabkan peran dan fungsi agen menjadi tidak optimal.
"Harusnya layanan inklusi keuangan digital ditujukan kepada masyarakat yang belum memiliki akses perbankan,” katanya.
Chaikal menambahkan, kemampuan dan pendanaan merupakan masalah yang dihadapi agen karena keberadaan manager agen menjadi penting agar dapat membantu agen dalam menyelesaikan berbagai masalah, melakukan fungsi pendampingan, dan supervisi agar layanan diberikan lebih efisien.
Di lain pihak, banyak pemilik usaha di daerah yang belum menjadi agen karena ketidaktahuan mereka dan ketiadaan kemampuan dalam memberikan layanan.
“Perlu dibentuk pusat informasi dan pelatihan di daerah-daerah, memanfaatkan manager agen," katanya.
Selain untuk ekspansi keagenan dan layanan, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas layanan dari agen yang sudah terdaftar.
"Layanan yang diberikan menjadi tidak sekedar untuk fungsi pembayaran tetapi meluas kepada fungsi intermediasi, seperti layanan kantor cabang bank tertentu,” kata dia.
Anggota Tim Peneliti LPEM dari Universitas Indonesia Prani Sastiono mengemukakan, nilai tambah dari pendapatan sebagai agen memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan jumlah agen di daerah.
Lebih dari 80 persen agen menyatakan bahwa pendapatan dari usaha keagenan berdampak positif terhadap usaha utama.
"Namun, perbaikan terhadap jaringan listrik dan infrastruktur digital perlu dilakukan demi menjamin kualitas dan peningkatan jangkauan layanan keuangan digital tersebut," kata Prani.
Menurut Prani, tujuan utama inklusi keuangan digital adalah memfasilitasi masyarakat terutama di pelosok untuk masuk ke dalam sistem keuangan formal, menjadi nasabah pada salah satu institusi keuangan atau perbankan.
Karena itu, baik layanan inklusi keuangan digital maupun digitalisasi bantuan pemerintah kepada masyarakat seyogyanya bermuara pada kepemilikan rekening.
Hal ini menjadi titik temu yang menautkan perbankan dan institusi non-perbankan dalam memberikan layanan keuangan digital kepada masyarakat.
“Sinergi antara perbankan dan institusi non-perbankan sangat dibutuhkan demi memperkuat jaringan agen hingga ke pelosok daerah sehingga persentase kepemilikan rekening di masyarakat terus meningkat, sejalan dengan target pertumbuhan 75 persen pada 2019 sesuai yang ditetapkan SNKI,” katanya.