“Kami parlemen Indonesia juga meminta Parlemen Eropa melihat secara objektif bahwa secara produktivitas sawit lebih produktif jika dibadingkan dengan bunga matahari (sun flower) maupun biji rapa (rapeseed),” kata Daniel.
Karena lebih produktif, maka lanjut Daniel, lahan yang digunakan sawit lebih efisien jika dibandingkan dengan tanaman bunga matahari dan biji rapa yang ditanam petani di Eropa ini.
“Kalaulah dilihat dari segi perusakan lingkungan, tanaman bunga matahari dan biji rapa jauh lebih merusak lingkungan ketimbang sawit,” paparnya.
Pihaknya juga mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang secara konsisten menjalankan program mandatori biodiesel. Sejak program ini dimulai pada 2014 yang mewajibkan penggunaan biodiesel sebanyak 10% (B10) pada setiap solar. Kebijakan ini terus berlanjut dan pada awal Januari mendatang kebijakan bauran energi ini sudah mencapai B20.
Program bauran energi yang mencampurkan minyak sawit ke dalam minyak solar ini tidak hanya mengurangi volume impor minyak solar saja, namun juga menimbulkan ketakutan UE.
“Eropa tidak punya pilihan juga kok. Rakyat Eropa akan berteriak, karena produk minyak nabati lain sangat mahal,” kata Daniel.
Sejatinya, kata Daniel, jika UE benar-benar melarang minyak sawit masuk ke Eropa, justru akan merugikan mereka sendiri. Pasalnya, selama ini banyak industri makanan maupun minuman mereka yang banyak menggunakan minyak sawit sebagai bahan bakunya.
Selama ini mereka membeli minyak sawit dengan harga yang murah, tapi karena minyak sawit dilarang masuk ke kawasan Eropa, maka industri di sana mau tidak mau akan membeli minyak nabati non sawit yang harganya jauh lebih mahal ketimbang minyak nabati berbasis sawit.
Kendati demikian, Daniel mendesak pemerintah agar tetap memperjuangkan sawit dalam lanjutan perundingan IEU-CEPA.
“Pemerintah harus berjuang agar sawit masuk dalam bagian pembahasan perundungan IEU-CEPA. Kita harus fight membela komoditas strategis nasional ini. Jangan sampai ada pengkhianat di dalam negeri,” katanya. (/*)