Kendati dalam kondisi yang sangat sakit, Robby Djohan secara mengejutkkan bisa memperbaiki kinerja Garuda setelah genap tiga bulan mengambil alih kepemimpinan.
Dalam laporan yang dirilis, Garuda Indonesia bulan Agustus bisa meraup laba Rp 200 miliar.
Banyak yang tidak percaya, mengingat selama bertahun-tahun BUMN ini terkenal selalu merugi.
untung! "Uangnya benar ada, bukan rekayasa," tegas Robby ketika ditemui di ruang kerjanya menanggapi respon sumir publik saat ini.
Robby menjelaskan, perolehan laba tersebut sebenarnya bukan hal istimewa. Sebab, di bulan peak season Agustus-September, umumnya Garuda Indonesia memang selalu untung dari penerbangan internasional.
Rata-rata pada bulan peak season itu, load factor Garuda mencapai 87 persen banding 55-60 persen di bulan-bulan lain.
Dari pendapatan jalur internasional kedua bulan tersebut, bila dikurskan dengan nilai dollar yang sedang meroket (waktu itu), laba Garuda memang jadi lumayan besar sampai Rp 200 miliar.
Namun diingatkan pada bulan low season, load factor Garuda hanya berkisar 40-55 persen, sehingga angka musim peak season bukanlah patokan. Diakuinya bahwa dirinya bukanlah pesulap yang dapat mengubah Garuda langsung meraup untung seketika.
"Namun sekarang Garuda sudah enak, sudah gampang. Nggak ada lagi KKN keluarga Soeharto segala itu," lanjut Robby di tengah acara penyerahan enam pesawat baru Boeing 737-300/-500, 2 Januari 1999.
Lanjut dia, fungsi manajemen bisa berjalan dengan benar. Program golden handshakes (pensiun dini) pun berjalan dengan lancar sehingga perumahan tahap pertama 1.596 tenaga kerja, dengan total pesangon Rp 110 miliar berlangsung mulus.
Estafet dirut ke Abdul Gani
Usai kondisi Garuda mulai perlahan membaik, posisi dirut beralih mulus kepada Abdul Gani, yang tentunya dengan persetujuan Tanri Abeng.
"Pak Gani sama saya sudah berkompetisi (di perbankan) selama 30 tahun, jadi saya tahu bahwa dia itu nggak orang enteng!" tegas Robby Djohan mengenai penggantinya.
Saat itu, kata Tanri Abeng, kredibilitas Garuda sudah mulai pulih sehingga Bank Exim AS dan pabrik Boeing, serta Pemerintah Indonesia sendiri mendukung pengadaan Boeing 737 senilai 368 juta dollar AS.